Adik Rasa Kakak

Hari minggu kemarin, ditengah salah satu agenda terjadwal yang sedang saya ikuti.. disaat bahkan pematerinya masih bicara.. sekitaran jam 11 lewat, tiba-tiba saya teringat Abel, adek tertua saya yang tinggal terpisah kota. Saya teringat obrolan kami di telepon beberapa hari sebelumnya, Abel cerita bahwa hari minggu itu dia berangkat ke kota tempat saya tinggal untuk mengikuti salah satu event lomba yang diadakan salah satu sekolah menengah di kota yang saya tinggali. Detik itu saya mendadak teringat padanya, lantas bergegas mengirimkan sebuah sms singkat yang memastikan keberadaan Abel. Sms itu berbalas sebuah panggilan telepon setengah jam kemudian -ditengah berjamuran sosial media, saya dan adek justru memilih cara konvesional, sms-telpon-. Dari obrolan yang (juga) singkat ditelepon itu, disepakati bahwa saya akan nyusulin dia di sekolah yang dimaksud, ba'da zuhur berangkat.

Abel adalah salah satu dari tiga adek saya yang semuanya laki-laki. Saat ini ia sedang menjejak kelas satu SMK, terpisah usia empat tahun dari saya-meski sekarang tidak kentara lagi- seperti saya dahulu, ketika selesai masa SMP ia bergegas menjadi anak rantauan, keadaan kampung saya yang tidak memfasilitasi adanya sekolah menengah atas yang cukup memadai memang membuat kami mau tidak mau harus keluar dari sana, minimal ke kecamatan sebelah atau seperti saya, ke ibukota provinsi. Setelah "kepergian" Abel, praktis keluarga kami terbelah menjadi tiga tempat (saya di palembang, abel di gelumbang, dan yang lainnya di kampung). Dan juga lantas membuat rumah terasa sepi sekali setelah kami berdua pergi dan pasti akan sangat jarang untuk pulang. Menyisakan dua adik saya yang masih sd dan paud dirumah sebagai teman bapak dan ibu.

Secara jarak, Abel yang di Gelumbang memang jauh lebih dekat dengan rumah dibanding saya yang di Palembang. Kami sama-sama memilih untuk melanjutkan ke SMK, meski beda jurusan. Kalo dulu saya memilih untuk sekolah di kota, Abel memilih 'hanya' merantau ke kecamatan terdekat. Kalau dulu dengan segala keegoisan saya ngotot untuk ngekos, Abel dengan sukarela tinggal di rumah Uwak kami. Dia tidak se-nekad saya, tidak se-idealis saya dan tidak sebandel saya. Dan dengan segala keterbatasan fasilitas dia disana, dibandingkan saya yang tinggal di Palembang hal menariknya justru dalam banyak hal, dia lebih matang dibanding saya... lebih dewasa dan lebih tenang dibandingkan saya yang meledak-ledak. Mungkin dia melihat betapa tidak dewasanya saya lalu belajar untuk lebih dewasa dibanding kakaknya.

Adek saya yang ini, dalam urusan pergaulan juga lebih ahli dibanding saya.. dia lebih ramah, lebih supel, dan pandai menjaga hubungan dengan teman-teman lamanya.. kontras dengan saya yang penyendiri dan introvert, yang lebih suka tidur dibandingkan main dengan teman-teman saya, saya yang punya dunia sendiri. Abel juga selo sekali urusan mimpi, dia tau apa yang dia mau dan dengan tenang menjalani step by step nya, berbeda dengan saya yang terlalu menggebu-gebu dan kadang bertindak tanpa pertimbangan. saya gampang iri pada orang lain, minderan dan punya masalah dengan kepercayaan diri.. jauuuuuuh dibandingkan dia yang pede dan bener-bener be-myself.

Dalam banyak hal, dia memang lebih cocok jadi kakak dibanding adek bagi saya.

Dewasa memang bukan urusan umur, mungkin. Meski terlepas dari semua itu dia tetap anak umur limabelas tahun yang masih butuh diarahkan.

Saya terakhir bertemu Abel sekitar akhir desember 2016 lalu, ketika kami sama-sama sedang libur akhir tahun. Makanya, pertemuan hari minggu itu sebenarnya juga saya tunggu-tunggu.
Ada rindu yang tak terceritakan mungkin.
Hari minggu itu saya akhirnya bertemu dia lagi, dan betapa lucunya ketika saya justru awalnya dikira pacaran dengan Abel oleh teman-temannya. Mungkin efek tampang saya yang masih kayak anak umur lima belas kali yah :p Hahaha padahal secara fisik, adek saya itu memang lebih tinggi dan lebih berisi dibanding saya yang kecil dan kuyus.

 Ada seutas bahagia ketika menemani dia lomba dan memperhatikan dia hari itu. Menyadari bahwa adek saya akan tumbuh dewasa dan bukan anak kecil lagi, menyadari bahwa jarak empat tahun diantara kami sekarang justru tidak kentara lagi. jika pada dua adik saya yang kecil, yang jarak usia mereka cukup jauh dari saya dan abel, saya lebih memposisikan diri sebagai kakak.. kakak yang menemani mereka belajar, memasakkan makanan favorit mereka, mendengarkan mereka berceloteh, menemani mereka nonton kartun dan memarahi mereka... tapi pada Abel, saya justru memposisikan diri sebagai sahabatnya, orang yang mengerti dunianya dan membebaskan dia memilih jalan hidupnya-tentu saja dalam koridor yang benar-, saya hanya menyediakan telinga sebagai tempat dia bercerita, bukan orang tua cerewet yang gemar melarang-larang. Bahkan, kadang dialah kakak bagi saya.

Dan.. ada khawatir. Hal yang seharusnya tidak ditakutkan tapi justru membuat saya sedikit takut. bukan hanya tentang abel, tapi tepatnya kesemua adek saya. saya takut ketika kami tumbuh dewasa dan menikah, maka kami tidak akan dekat lagi.. kami akan kehilangan satu sama lain dan akan punya dunia sendiri. sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari,.. bahwa hal itu PASTI akan terjadi dan saya mendadak tidak siap untuk kehilangan ketiga adek saya ini.

 Lalu, jika saya sebagai kakak saja merasa begitu... bagaimana dengan orang tau kita yang mungkin di setiap hari kita bertambah dewasa, mereka justru bertambah-tambah rasa kehilanganny? :"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Gibahin Orang sambil Cerita Keresahan