#Holidiary : Conanian

Salah satu hal lumayan unfaedah di liburan kali ini adalah tentang aku yang kembali jadi Conanian. Setelah mungkin hampir belasan tahun tidak lagi menekuni hal ini. Conanian adalah sebutan untuk penggemar manga Detective Conan (DC) karya Aoyama Gosho. Selain itu, DC juga salah satu manga yang sangat terkenal dan berumur cukup tua kalau dilihat dari tahun pertama rilisnya yang berkisar '94an. Selain terkenal di Jepang, DC juga populer di seluruh dunia, bahkan di Indonesia sendiri manga ini pernah tayang di televisi nasional (bareng Shincan dan temen-temennya), jadi rasanya hampir tidak mungkin tidak ada yang tau DC meski cuma Conan nya aja.

Niat membaca ulang DC dari volume 1 sebenarnya sudah ada sejak berbulan-bulan lalu. Aku sudah mendownload file gratisan hingga volume 15 sebagai permualaan. Namun, kesibukan kuliah dan godaan yang lain mengalihkan perhatianku. Waktu itu aku lebih sibuk bersiap untuk UAS sekaligus lebih prefer untuk nonton "Infinity War" yang memang sudah sangat lama di tunggu. Jadi, hal itu kemudian tertunda.

Sebenarnya, perkenalanku dengan DC agak tidak di sengaja dan mungkin akan sekejap saja terlupa. Ia selintas tapi berbekas. Pertama kali tau tentang DC mungkin sekitaran tahun 2006, ketika aku masih sd. Orang yang mengenalkannya juga tidak disangka, adik ipar bibiku.
Waktu itu kalau tidak salah bibiku belum lama menikah dan mertua beserta adik iparnya sedang berkunjung kerumah Bibi. Adik ipar bibiku masih amat muda waktu itu, mungkin seusiaku sekarang. Ia datang sambil membawa beberapa komik DC dan menunjukkannnya padaku. Aku, sebagai anak yang kesulitan mendapat akses buku sangat-sangat antuasias. Waktu itu aku amat suka membaca, tapi aku hanya anak kecil yang nun jauh tinggal di pedalaman. Tanpa buku apalagi internet dan komputer. Hanya ayahku yang beberapa kali pergi ke Palembang dan membelikanku beberapa buku bekas. Tumpukan komik DC amat menarik perhatianku, lalu aku memberanikan diri meminjamnya. Lalu ia, yang melihatku amat tertarik dengan DC memperbolehkan, bahkan ia menceritakan siapa Shinichi sebenarnya. Aku amat terpesona waktu itu, apalagi ketika melihat betapa cerdasnya Conan. Dan entah mengapa, ia amat berbekas tertanam di benakku. Sejak saat itu, aku selalu berusaha mencari komik-komik Conan. Tiap kali ayah berangkat ke Palembang, aku selalu minta dibelikan komik DC, meski hanya bekas. Bahkan ketika aku akhirnya sekolah di Palembang, aku sendiri yang membeli komik-komik itu dengan uang jajanku.

Dulu, aku membacanya random. Tidak berurutan dan asal-asalan. Aku hanya terpesona dengan  kecerdasan Conan. Aku penasaran dengan kasusnya, memikirkan apa yang sebenarnya, lalu bersorak girang ketika Conan menceritakan analisisnya. Aku tidak peduli konfliknya, tidak peduli apa hubungan antar tokoh.
Sekarang ketika dibaca ulang dari volume 1 secara berurutan, aku sadar. Komik ini memiliki alur cerita yang amat kompleks. Konflik yang dalam serta menguras perasaan. Tidak hanya tentang kasus-kasus yang berhasil di pecahkan Conan, tapi tentang hal lain yang lebih besar. Aku sadar, untuk bersembunyi dan menjadi Conan, Shinichi hampir mengorbankan segala hal. Nama besarnya sebagai detektif, kehidupan sma-nya, masa depannya, dan tentu saja Ran-nya. Dengan menjadi Conan, ia sama saja mati.
Aku juga jadi mengerti bagaimana posisi seorang Ai Haibara, lebih mengerti bagaimana sakitnya penantian Ran. Hal menarik lainnya adalah kisah-kisah cinta yang lain, Heiji-Kazuha, Miwako-Takagi, Eri-Kogoro, Chiba-Naeki, serta sangat terpesona dengan Yusako Kudo dan tentu saja, tokoh yang mempesona namun sering terabaikan, Kaito Kid.

Pesona DC memang tidak hanya pada kasus-kasus yang ada, tapi juga kehidupan pribadi tokoh-tokohnya. Dan seperti film-film MCU, di DC tidak ada tokoh yang kebetulan atau sekedar muncul.

Dan lagi, baca DC lagi itu rasanya seperti terbang ke masa lalu, nuansa dan aroma masa kecil seolah menghipnotisku. Rasanya aku kembali ke moment-moment dimana aku duduk diam dan terpesona dengan tokoh-tokoh komik ini. Aku seperti terbang ke rumah nenek, merasakan hangatnya lantai kayu rumahnya, dan seolah masih dapat kudengar seruannya yang memanggilku untuk makan, kali itu aku lupa waktu ketika bercengkrama dengan Conan.

Atau saat lainnya, debur ombak yang menampar-nampar sisi speedboat, suara mesin yang bersahutan, air sungai yang bergoyang dan sesekali memercik ke arahku dan membuat basah komik yang ku pegang.

Aku seperti berada disana lagi. Saat imajinasi adalah temanku. Saat kebahagian hanya seharga komik bekas lusuh. Saat aku terhipnotis dan tidak mempedulikan sekitarku. Dan saat itu, aku dengan bebas menerbangkan khayalku, aku bebas menerbangkan mimpiku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Pesan Tidak Sampai