True Love Waits

 I'm not living

I'm just killing time

Your tiny hand

You crazy kitten smile

Just don't leave

Don't leave

- Radiohead


Kayaknya True Love Waits-nya Radiohead menjadi soundtrack resmi tiap kali perasaanku tidak kurasakan dengan baik. Kau tau maksudku? Tadinya aku ingin menulisan "saat patah hati" tapi tidak semua kesedihan adalah patah hati dan tidak semua patah hati harus disedihkan. Meski sakit, rasanya tidak sampai membuat sedih. Sedih dan sakit adalah dua perasaan yang berbeda.

Anyway, bukan itu sih sebenarnya yang ingin aku bahas.

Beberapa hari lalu, aku beranjak dari rumah. Meninggalkan rumah dan seisinya untuk kembali ke hidupku. Hidup diperantauan lagi. Mengejar apa yang sempat ditinggalkan. Mengejar apa yang sedang direncanakan. Hidupku rasanya jalan ditempat sejak pandemi dan aku terjebak di rumah selama hampir satu tahun. Pulang, meski juga punya definisi berjuang tapi tidak menampik juga berarti meninggalkan. Aku sering bilang bahwa  hidupku kadang paradoksal. Bagiku pulang adalah meninggalkan. Dan pergi adalah definisi lain dari pulang. Dengan pergi aku merasa sedang menuju diriku sendiri. Tapi, rumah selalu punya caranya sendiri untuk dirindukan. Selalu punya sesuatu untuk menarikku kembali pulang

Tahun ini, tahun kesembilan aku meinggalkan rumah. Sembilan tahun hidup diperantauan dan mengeja sendiri arti kedewasaan. Aku sangat terbiasa dengan kesendirian dan menyelesaikan masalah sendiri. Harusnya, aku juga terbiasa dengan perasaan ditinggalkan dan meninggalkan.

But, you know what?

Ternyata tetap tidak mudah untuk pergi dari rumah meski kau sudah sembilan tahun meninggalkannya. Perasaan berat dan sedihnya sama saja seperti saat dulu pertama kali meninggalkan rumah. Tidak berubah sedikitpun. Tidak bergeser sesenti pun. Aku merasa rindu bahkan sebelum pergi. Ternyata. setelah sembilan tahun, aku tetap tidak terbiasa.

Terbayang waktu-waktu yang aku sia-siakan selama dirumah. Terbayang tidak memaksimalkan bakti ke bapak dan ibu saat mereka masih berada dekat. Terbayang betapa berharganya waktu-waktu bersama keluarga. Tiba-tiba saja, semuanya hilang dan aku akan pergi. Pergi menuju duniaku sendiri. tapi mau bagaimana lagi? ada mimpi yang minta diperjuangkan. Benarlah kata seorang teman, betapa sedikitnya waktu yang kita luangkan untuk keluarga. Karena setelah ini, kita pun akan punya keluarga sendiri.

Aku sering bertanya dalam hati. Apakah hidup memang tentang saling meninggalkan? Bukankah orang tua kita dulu juga "meninggalkan" orang tua mereka, dan aku saat ini pun meninggalkan orang tuaku? Apakah menjadi orang tua juga berarti menjadi orang yang harus selalu siap ditinggalkan? Karena semakin dewasa kita, semakin bertambah-tambah pula kehilangan mereka.

Orang tua yang menyaksikan anak mereka satu per satu tumbuh dewasa dan mulai meninggalkan rumah. Mereka yang pergi lalu menemukan dunianya sendiri. Sepi yang datang bisa jadi lebih sunyi dari apa yang pernah dibayangkan. Apakah setelah itu hari-hari mereka hanya menunggu dan menunggu? Menunggu anak mereka pulang dan mengisi kesunyian. Menunggu anak mereka menyisihkan satu waktu dari segala hal penting dihidupnya hanya untuk sejenak meningat rumah dan apa-apa didalamnya.  

Maka, benarlah dunia ini adalah kehidupan sementara. Tempat segala ujian dan penderitaan. Tugas kita cuma bertahan dan berusaha sebaik mungkin meraih  surga. Berharap Allah ridho hingga berkenan mengumpulkan kita dan orang tua disana. Tempat dimana tidak akan ada lagi yang saling meninggalkan. 

Komentar

  1. Kebanyakan orang belum bisa menerima yang namanya Uncertainty mbak, ketidak pastian itu selalu terngiang dan terfikirkan selalu oleh kita, tetapi kita harus belajar menerima itu semua mbak, menerma semua ketidakpastian yang ada heeh

    BalasHapus
  2. cemungudh. nasib anak rantauan ya
    nanti kalo udh kerja di luar kota, bakal lebih susah buat balik nggak sih(?)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Gibahin Orang sambil Cerita Keresahan