Hujan

Hujan mengguyur deras tepat saat matahari terbenam. Tepat saat senja dengan cahaya orange sempurna itu menghilang. Tertelan gelapnya malam. Aku berlarian sembari memeluk erat tas. Mencari tempat berteduh terdekat. Sepatuku basah. Bajuku basah. Kacamataku berembun.

Di deretan ruko itu, aku berdiri. Atap teras yang tidak lebar tetap tidak menghalangi tampias hujan mengenai tubuhku. Dingin. Aku memeluk diri lebih erat. Bersin. Sedari pagi tubuhku sudah kurasakan tidak baik-baik saja. Apalagi ditambah basah-basahan tadi.

Aku menatap lurus. Memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang dibawah hujan. Suara ban yang bergesekkan dengan aspal basah, lampu lampu kendaraan, juga lampu jalan yang tampak tenang di ujung saja. Tampaknya hujan ini akan lama.

Ada gemuruh yang kurasakan lebih besar ketimbang di langit sana. Disini. Di dalam diriku. Hey, bolehkah aku bercerita?

Perasaan tidak enak ini seperti hujan deras yang datang tiba-tiba. Tiba-tiba saja datang tanpa permisi dan membuat basah dimana-mana. Menciptakan hujannya sendiri di dalam hati. Awan mendung tidak juga ingin beranjak. Ia ingin lebih lama hidup dalam diriku. Bersiap menciptakan hujan hujan berikutnya.

Satu waktu, rasanya aku ingin melepaskan hujan lewat air mata. Agar awan mendung itu tau, tubuhku bukan langit yang bisa ia tinggali. Tapi rumit sekali menjadi manusia yang juga membenci manusia. Hujan tidak serta merta bisa diciptakan. Aku hanya bisa menunggunya reda, sembari menunggu matahari datang dan menghangatkan.

Matahari ku tidak juga datang. Atau aku lupa bahwa aku tidak punya matahari? Aku bukan semesta, dan matahari hanya akan datang pada satu semesta yang utuh. Sementara hujan dalam diriku semakin deras, mengeluarkan petir, serta sesekali bergemuruh dengan lebih keras. Membuatku takut melihat ke dalam diri sendiri.

Itu hanya terjadi dalam diriku. Kau tidak akan bisa melihatnya meski badai itu sudah berlangsung selama hampir seminggu. Kau tidak bisa mengenali jiwaku karena diriku yang hidup dalam semestanya Bumi adalah aku yang lain. Yang kau lihat selalu baik-baik saja dan selalu tidak apa-apa. Yang kau lihat masih menyapamu dengan biasa. Yang kau lihat bisa tertawa.

Aku juga kadang membenci paradoksal kepribadian dalam diriku. Ah bukan. Aku membenci ketidakmampuan diriku menunjukkan badai dalam diri. Ketidakmampuan merespon dan menerima hujan dengan benar. Lagi lagi, aku hanya bisa menunggu hujan dalam diriku reda.

Akan banyak hal yang ditunggu untuk reda. Hujan dalam diriku. Juga hujan semestanya Bumi. Seandainya aku semesta, kan kubiarkan hujan ini tinggal. Biar ia menghidupi sesuatu lain yang hidup dalam diriku.

Tapi aku cuma manusia.

Bumi, 20 Maret 2020

Komentar

  1. Saat awan abu-abu itu timbul. Bergerak perlahan pula ia, begitu juga dengan menghitamnya. Tiba-tiba laki-laki itu datang, sembari membawa payung pelindung kepala. "Duh, kenapa suasana mendadak panas? Apakah ia yang menjadi muaranya?". Bhatinku berkata. Si laki-laki misterius itu perlahan menghampiriku, masih dengan payung yang sama. Saat ia tepat ada di hapadan, menatap lamat-lamat. Kemudian bibir itu mulai berucap "Neng, kau nyewa jasa ojek payung? Mumpung lagi diskon gede-gedean nih".

    BalasHapus
  2. Seringkali saya juga merasakan apa yang mba ais rasakan ini, di dalam hati bergemeruh bak awan cumulonimbus sedangkan di luar tersenyum cerah ala awan cirrus.

    Kalo menurut saya hal, ini merupakan hal yang wajar mbak. Mungkin, ketika kita tidak menujukkan lebatnya hujan di hati kita kepada orang lain, itu berarti kita tak menginginkan orang lain ikut serta kebasahan mbak. Hihihi, walau rasanya sedikit meresahkan sih. Dan mungkin mbak ais hanya membuka hati pada orang yang tepat saja. Nice nih hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir