Mencukupkan Air Mata

Maret, 31 2020
Pukul 09.15

sebuah pesan masuk ke ponsel saya

"ayuk, tolong doanya... Wak Cak drop"

Saya diam. Wak Cak sudah cukup sering sakit. Semoga kali ini tidak cukup parah. Hanya sakit seperti biasanya.

Pukul 12.40

Adek bungsu saya mengguncang tubuh saya yang sedang tertidur, telfon.

"Ayuk, Wak Cak nak dibawak ke rumah sakit. Bisa kesini? Dirumah ga ada orang"

Sesiangan itu saya melaju ke rumah uwak, sampai disana sekitar 1 jam kemudian. Orang-orang sudah bersiap berangkat. Rumah cukup ramai. Para tetangga berdatangan. Tak lama mereka berangkat ke rumah sakit dengan ambulans.

Saya terdiam lama setelah ditinggal sendirian. Saya seolah tau apa yang akan terjadi berikutnya. Saya mengusir segala perasaan tidak enak. Mencoba meyakinkan kalau beliau akan sembuh. Rumah kosong dan sunyi. Kadang yang bisa saya dengar hanya suara di kepala.


Pukul 23.01
Saya terbangun setelah mendengar dering handphone yang kesekian. Tanpa sempat melihat siapa yang menelpon, saya segera mengangkatnya :

"Ayuk, Wak Cak sudah pergi.... kami bentar lagi balik, tolon siapin rumah yo"

Saya terdiam lama. Kosong. Rasanya kosong. Saya ingin menangis keras, tapi air mata tertahan. Saya ingin berteriak kencang, tapi suara saya tercekat di tenggorokan. Sama. Rasanya masih sama seperti Kakek dulu pergi, seperti nenek dulu pergi, seperti Paman saya yang dulu saya tunggui di IGD pergi. Sama. Rasa kehilangan itu selalu sama. Tidak pernah sembuh. dan kehilangan orang-orang berikutnya hanya memperdalam luka.

Kalau saya ditanya siapa yang paling mendukung mimpi saya selain orang tua, maka uwak saya lah jawabannnya. Saya tinggal dengan Uwak sejak saya tahun pertama kuliah. Uwak lah yang tau proses jungkir balik dan berdarah-darahnya saya di perkuliahan. Dia yang liat saya ga tidur semalaman karena bikin tugas, karena harus ngedeadline ngerjain projek lomba, karena belajar buat ujian. Dia yang liat saya pulang menjelang isya karena kegiatan di kampus. Dia akan nungguin saya di teras rumah sampai saya pulang, yang mengkhawatirkan ketika sore hujan deras, yang takut saya sakit, yang dengan bangga menceritakan ke orang-orang ketika saya berhasil memenangkan berbagai perlombaan, yang rela ga makan enak kalau tau saya belum makan, dan rela menyisakan saya sepotong kue yang menurutnya enak, sementara saya belum pulang.

Sampai saya berfikir, pokoknya kalau saya wisuda, saya akan bawa mereka berdua selain bapak dan ibu. Merekalah yang berperan besar memberikan dukungan dan semangat terbaik. Saya akan membawa mereka masuk ke ruang yudisium. Biar mereka lihat, anak mereka berhasil menyelesaikan satu pekerjaan besar.

Saya tidak tau harus melakukan apa. Saya ingin menangis. Tubuh saya rasanya lemas dan lelah. Tapi saya harus bersiap, Wak Cak akan pulang dan kondisi rumah belum siap. Saya tidak bisa duduk dan menangis saja. Banyak yang harus disiapkan. Setelah memakai kerudung, saya keluar rumah dan mengetuk pintu-pintu tetangga saya, berusaha dengan tegar memberikan kabar. Mereka berdatangan membantu saya menyiapkan rumah. Ruang tengah dikosongkan, tikar di gelar, lampu-lampu dinyalakan, tenda dipasang. Saya tenggelam dalam kesibukan meski pikiran saya masing kosong.

Pukul 00.20

Setelah segalanya selesai, saya duduk di sudut ruangan. Memandang kosong dinding di depan saya. Saya mengeluarkan handphone dari saku, mencari kontak seorang teman, kontak watsapnya menunjukkan dia masih online. Saya tidak suka becerita, saya tidak suka menunjukkan kesedihan pada orang lain, saya tidak terbiasa berbagi hal personal dengan orang lain, tapi kali ini... mungkin saya memang butuh teman. Saya mulai mengetik pesan, mengabarkan beberapa hal, bercerita panjang. Tak lama dua centang biru muncul dipesan saya. Ia membalas dengan skrinsut sebuah ayat alquran :

"...dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.."

Saya menangis. Mengucap istigfar berkali-kali. Ya Allah, ampuni hamba ya Allah. Saya membalas pesannya

"Rasanya selalu sama, kosong, hambar.. tidak ada rasanya. Itu lebih menyesakkan dibandingkan perasaan sedih"

"Dan besok kejadian ini akan berulang, lagi.. lagi.. dan lagi. Kita ga bisa mengubah takdir, tapi kita bisa mengubah cara kita meresponnya"

Saya membenarkan ucapannya. Besok-besok kejadian ini akan berulang, kita akan kehilangan lebih banyak lagi, besok akan lebih berat. Dan saya tidak bisa terus-terusan begini. Banyak yang harus saya kuatkan. Maka saya yang tidak boleh kehilangan kekuatan. Saya boleh sedih, saya boleh menangis, tapi saya harus mencukupkan air mata.. merelakan sesuatu yang memang bukan milik kita, bersedih secukupnya.

Komentar

  1. Innalillahi wainna illaihi roji'un. Mba turut berduka atas kepergian beliau. Semoga seluruh amal ibadahnya diterima Allah SWT. Aamiin. Tulisannya sangat berkesan, mengandung makna bahwa semua orang akan pergi meninggalkan dan kita hanya bisa mendoakan sebaik yang kita bisa.

    BalasHapus
  2. Innalillahi wa inna illaihi rojiun🙏
    Rasanya ini tulisan mba ais yang sangat bikin dada saya ikut bergetar, sama, sedih ikut terasa saat saya membacanya mbak. Saya juga dulu persis pernah mengalami kehilngan, kehilangan orang tercinta. Rasanya hampa, tak ada rasa, dan hanya bisa diam termenung. Semoga uwak diterima amal ibadahnya mba, dan mbak ais sekeluarga diberi ketegaran serta kelapangan dada untuk menerima kehilangan salah satu dari keluarga tercinta. Mbak Ais tegar🤗😊

    BalasHapus
  3. Sebenarnya hal yang paling menyedihkan di dunia ini adalah pertemuan ya dek. Karena dari setiap pertemuan itu, kita akan menemui satu kata yang pasti. Sebuah perpisahan.

    BalasHapus
  4. Ternyata ini yang begitu mengusik pikiranmu kala itu syah. Kamu kuat, tegar. Uwakmu pasti bangga. 😢

    BalasHapus
  5. Innalillahi wa inna ilayhi roji'un..
    Semoga Allah mengampuni dosa Uwak

    BalasHapus
  6. Inalillahi wa inna ilayhi rajiun
    Semoga diberikan tempat terbaik di sisi Allah swt

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir