Sebuah Usaha Memahami

Saya akan bercerita tentang Ibu, tapi mungkin cerita ini tidak sama seperti yang ada di benakmu, tidak ada puisi haru, tidak ada kalimat manis... hanya sebuah cerita. Saya tumbuh menjadi anak yang keras, pemarah, insekyur dan tertutup pada orang lain karena yang saya ingat dari masa kecil saya hanyalah ibu yang berteriak-teriak marah didepan saya. Mengeluarkan beberapa kalimat kasar. Bahkan setelah apa-apa yang saya capai, yang menurut orang-orang adalah luar biasa, saya tetap merasa diri saya tidak berguna dan tidak bisa diandalkan. Terlalu sering saya mendengar kalimat itu sejak kecil. Sering saya merasa hidup saya paradoksal, di sekolah atau di kalangan teman-teman saya sering dianggap dewasa, punya jiwa pemimpin, sering dimintai pendapat, pintar dan bisa apa saja tapi ketika dirumah saya hanya merasa sebagai seonggok daging tidak berguna dan hanya bisa menyusahkan. Hingga pelan-pelan, tanpa saya sadari saya memisahkan kehidupan di rumah dan di sekolah. Orang tua saya hampir tidak pernah tahu kalau saya menjadi ketua umum ekstrakulikuler, aktif diberbagai kegiatan dan organisasi kampus, punya prestasi a b c d e dll. Kalaupun mereka tau, mereka biasanya adalah orang yang nyaris terakhir akan tahu. Atau semisal kegiatan tersebut mengharuskan saya keluar kota dan saya harus ijin pada orang tua. Kalau orang lain setelah besar seringkali berubah menjadi pendebat, saya sebaliknya. Menarik diri lebih dalam dari dunia luar. Semakin suka memendam segalanya sendirian. Semakin pendiam. Semakin tidak suka bercerita apa-apa. Saya ingat saya pernah menangis tersedu karena satu masalah tapi tidak ada yang menenangkan saya. Atau saat saya sakit demam, tidak bisa bangun, tidak bisa makan tapi tidak ada yang berinisiatif membawakan saya makanan atau bertanya saya sudah minum obat belum. Tidak ada. Saya hanya mengurus diri saya sendiri. Sejak saat itu saya kehilangan niat untuk bercerita. Mereka hanya tahu baik-baiknya saja. Tahu bahwa nilai saya tetap tinggi. Tahu bahwa kuliah saya tidak pernah bermasalah. Tahu satu dua prestasi saya. Mereka bahkan tidak tahu rencana-rencana saya pasca kuliah. Nanti saja, pikir saya tiap kali akan bercerita. Namun, luka tetaplah luka. Bohong kalau saya baik-baik saja. Luka itu terpendam berbelas-belas tahun. Semakin dalam dan tidak kunjung sembuh. Maka jika disentil sedikit saja ia akan meledak hebat. Saya bahkan kadang merasa tidak bisa mengenali diri saya sendiri ketika luka itu berdarah kembali. Satu bentuk amarah ibu atau ayah saja, bentuknya pun kecil, tetapi sudah cukup membuat saya merasa kehilangan kontrol atas diri sendiri. Menyalahkan. Bahkan sempat berfikir mati lebih baik. Satu waktu saya pernah menjawab balik kalimat ibu saya, dan seperti yang bisa diduga, saya dianggap anak durhaka karena membantah orang tua. Dua-tiga tahun terakhir saya menyadari bahwa saya memang tidak baik-baik saja, dan saya tidak bisa seumur hidup begini. Luka ini suatu hari akan diturunkan ke anak saya, dan jelas saya tidak mau ia punya luka yang sama. Saya tidak mau ia merasa bantal guling dan selimut jauh lebih hangat dibandingkan pelukan ibu. Saya tidak mau ia merasa puisi-puisi lebih menenangkannya dibandingkan pulang kerumah seperti yang selama ini saya rasakan. Saya mulai belajar banyak hal. Memaafkan diri sendiri, juga memaafkan ibu. Mencoba memahami kenapa ia bisa begitu. Ibu sudah tidak punya ibu sejak kecil. Kakek kemudian menikah dengan perempuan lain. Ibu saya harus merasakan tempaan keras kehidupan. Sembari memastikan adik-adiknya tetap makan. Hubungan dengan ibu tiri yang juga tidak baik. Maka karakter keras itu melekat pada dirinya. Ia mungkin tidak tahu bagaimana jadi ibu yang menenangkan dan meneduhkan, bagaimanalah bisa? Ia saja tidak punya ibu. Bagaimana ia akan memberikan sesuatu yang bahkan tidak pernah dirasakannya? Ini hanyalah luka, yang secara tidak sengaja diturunkan ke saya. Saya membaca banyak tulisan tentang parenting. Membaca sudut pandang para ibu muda. Melihat banyak keluarga. Mendengarkan bunda Elly Risman. Saya hanya ingin sembuh. Dan memutus rantai luka pada diri saya sendiri. Cukuplah saya orang terakhir yang merasakannya. Pun semakin dewasa saya semakin menyadari bahwa orang tua selalu mengusahakan yang terbaik untuk anak-anaknya. Apa yang orang tua saya lakukan dulu adalah apa yang menurut mereka sudah terbaik. Toh dibalik kemarahan-kemarahan yang menghasilkan trauma, kebaikan-kebaikan mereka sebenarnya lebih tak terhitung lagi. Hanya karena luka lah yang mendominasi, maka yang sering diingat ya itu itu saja. Sebagai seseorang yang lebih terdidik, mengenyam pendidikan tinggi, kondisi keuangan keluarga yang lebih baik, serta lebih banyak akses ke ilmu pengetahuan, dan punya seorang ibu, saya harusnya menjadi seorang ibu yang lebih baik. ilmu-ilmu parenting yang sudah saya baca sejak saya berumur 18 tahun, harusnya membuat saya juga lebih mengerti kondisi orang tua, terutama ibu. Juga bagaimana memperlakukan mereka dengan lebih baik sebagai orang yang lebih berilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang bukankah harusnya semakin mudah ia memaklumi? Maka, harusnya semakin saya tahu banyak tentang bagaimana menjadi ibu dan berkeluarga, semakin saya harus lebih sayang pada orang tua saya.
Toh kita tetap seorang ibu dan anak yang sebenarnya saling mencintai. Dan berharap Allah himpun ke surga nanti.

Komentar

  1. hal yg terlihat justru adalah hal yg paling sulit utk di lihat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap. Seperti kata seseorang 'hal-hal yang sederhana sebenarnya sesuatu yang amat rumit'.

      Btw, terima kasih sudah mampir :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir