Se-fruit isi kepala


Semakin bertambah tua dan dewasa, saya semakin menyadari kalau orang tua memang selalu pengen yang terbaik untuk anak-anaknya. Dari hal simpel seperti makanan atau pakaian, hingga hal besar seperti pendidikan.

Maka orang tua yang sibuk kerja terus "cuma" ngasih anaknya materi bukan berarti mereka tidak sayang. Itulah bentuk sayang mereka, bentuk cinta mereka. Agar anak-anak mereka tercukupi segala kebutuhannya. Mungkin di waktu kecil, mereka harus merengek-rengek sekedar buat beli permen, maka jangan sampai anaknya merasakan kepedihan masa kecil itu.

Maka orang tua yang mengirim anaknya ke sekolah international terbaik dengan biaya fantastis perbulan sedari kecil. Diikutkan seabrek les dari matematika sampe les piano. Itu juga bentuk cinta. Mereka pengen anaknya siap dengan dunia yang semakin hari semakin kejam.  Maka di bekali lah si anak dengan berbagai keahlian. Mereka lagi-lagi hanya ingin yang terbaik.

Maka sama juga kayak orang tua yang menitipkan anaknya di pesantren modern atau SDIT mahal itu. Mereka berharap anaknya memperoleh pendidikan terbaik. Ingin anaknya mengenal Penciptanya sedari dini. Mungkin juga mereka menyadari kekurangan diri sehingga merasa tidak mampu mendidik anaknya, maka urusan pendidikan mereka serahkan kepada yang lebih ahli.

Ga ada sih orang tua yang ingin anaknya menderita. Atau ga sayang. Atau cuma mementingkan diri sendiri. Ga ada. Masalah berikutnya hanya tentang komunikasi, bahasa cinta. Ada orang tua yang bahasa cintanya adalah aksi, sehingga bekerja keras siang malam, membelikan anaknya a b c d e hingga z tapi anaknya merasa ga dicintai karena ternyata bahasa cinta si anak adalah verbal. Maka, penting sekali komunikasi dan memahami bahasa cinta masing-masing. Agar anak dan orang tua tau mereka dicintai dan saling mencintai.

Berikutnya, mungkin tentang referensi. Bacaan, tontonan dan teman akan mempengaruhi cara berfikir, yang kemudian akan menjadi value dan prinsip hidup. Kemudian value ini akan membentuk standar bagi tiap orang. Yang referensinya sama aja bisa jadi punya value dan standar yang beda. Apalagi yang referensinya beda.

Maka definisi "terbaik" bagi setiap orang akan sangat berbeda. Misalnya seseorang yang merasa anaknya lebih baik belajar bahasa inggris dan matematika dulu ketimbang mulai menghafal Alquran ya mungkin referensinya berkiblat ke barat. Ya ga sepenuhnya salah sih. Asalkan ga sekuler aja wkwk


Jadi ini ngomongin apa sih?
Ga ada. Hanya bahan renungan pribadi. Pengingat kalau ga boleh berhenti belajar dan mengusahakan referensi terbaik biar nanti anak-anak beneran memperoleh sesuatu yang baik, tidak hanya menurut manusia, tapi juga menurut Pemilik Semesta. Seperti kata Nabi, "Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani"


Anak manusia itu pada dasarnya suci. Kita (orang tua atau calon orang tua) lah yang menjadikan ia "kotor" atau "berdosa". Lewat hal-hal keliru yang diajarkan. Lewat nilai-nilai yang kita anut yang kemudian diturunkan ke mereka.




Berat sekali ya jadi orang tua.
Sudah lah berkorban jiwa raga masih berpotensi berdosa pula kalau yang diajarkan tida sesuai dengan aturan Allah. Maka doa-doa terbaik harusnya lebih sering kita langitkan untuk mereka. Siapa tau, sebenernya kita juga sedang menumpang hidup dari doa-doa baik mereka.

Komentar

  1. hehe jadi orang tua itu emang susah susah gampang ya.. tapi ambil hikmah saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak, susah susah gampang. Salah dikit dampaknya bisa besar. Tapi kadang ga sesusah keliatannya mungkin? Wkw

      Hapus
  2. Hmmm, baca paragraf kedua dari tulisan ini kok seolah "tertampar" ya :( Tulisan ini seolah menyadarkan saya karena beberapa waktu ini terlalu childish dalam menanggapi situasi rumah.

    Tulisanya cukup singkat namun sirat akan makna. Terimakasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pun masih sering childish, masih keliatan bocah, manja, dan kurang tanggung jawab padahal umur udah dua puluh sekian :(

      Hapus
  3. Cerita ini sangat singkat dan ketika membaca tiap tiap paragraf seolah olah menceritakan diri ini sendiri yang haus akan keinginan :(. Tetapi kita dapat mengambil pelajaran berharga menjadi orang tua sangat tidak mudah jadi persiapkan sedari muda, belajar bertanggung jawab, berfikir dewasa sebelum bertindak. Semangat menjadi orang tua heheh

    BalasHapus
  4. aku gamau jadi orangtua, maunya jadi parent

    BalasHapus
  5. Tulisan ini bener-bener ngebuat pembaca merasa harus berpikir tentang banyak hal, mulai dari bagaimana menghargai usaha orangtua selama ini (meskipun terkadang, aku gak sepenuhnya sepakat dengan cara didikan orang tuaku) sampai bagaimana mempersiapkan diri sebagai calon orangtua yang mumpuni dalam mendidik anak agar punya orientasi akhirat yang baik. Semangat menginspirasi aish:)

    BalasHapus
  6. Masalah klasik anak kpd orangtua adalah.. Paksaan orangtua kpd anaknya. Orangtua menganggap apa yg diberikannya adalah yg terbaik. Nmun di sisi lain, anaknya menganggap bahwa orangtua telah memaksakan sesuatu yg tidak disukainya.

    Sering terjadi...

    BalasHapus
  7. Segala sesuatu itu harus diawali dengan ilmu. Termasuk menjadi orang tua. Adapun apapun bentuk dan pola pendidikan dari orang tua pada kita, ya udah syukuri aja. Kalaupun ada yang bertentangan, toh semoga kita sudah cukup bijak untuk membedakan hal yang baik juga buruknya. Dan 'melawan' dgn cara yang baik laku dan akhlaknya. Nah, sekarang sudah giliran kita lagi. Sebagai generasi yang udah berumur 20 tahun ke atas, mempersiapkan diri menjadi orang tua adalah keharusan. Agar sang anak bisa menjadi pribadi yang jauh lebih baik dari diri kita. Anak adalah investasi kebaikan yang tiada berakhir.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir