Asam Manis Hidup Seorang Gap Year-er (1)

Sejak satu testimonial saya nangkring di zenius blog, hampir tiap tahun saya mendapat dm instagram dari teman-teman yang juga gap year. Mereka nanya banyak hal, tapi biasanya sih template. Apa yang saya lakukan selama gap year, gimana belajarnya, gimana ngatur waktu, gimana meyakinkan orang tua, dan sebagainya.

Biar berfaedah dan ga menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang, saya akan mencoba menjelaskan a.k.a bercerita a.k.a numpang curhat tentang apa-apa aja sih yang saya lakukan selama gap year. Tulisan ini juga dalam rangka pengkuan dosa berikutnya serta merayakan kegagalan. Mengingat saya juga ga bentar gap yearnya (2 tahun) dan kebiasaan saya yang ga bisa berhenti cerita. Tulisan ini mungkin akan sangat panjang. Meskipun yang diceritakan ya bagian bagian gagalnya saja. Karena memang kegagalan lah yang mendominasi hidup saia wkwk. Oke. Mari kita mulai.

(Btw, testimonial saya itu bisa dibaca disini)

Awalan
Saya menghabiskan masa putih abu-abu saya di salah satu smk negeri di Kota Palembang. Why smk? Karena dulu saya berpikir akan langsung bekerja setelah menamatkan sekolah. Maka smk jadi pilihan yang pas. Sekolah ini ga menjanjikan banyak hal pada waktu itu, sekolah yang sangat biasa. Tidak banyak hal hebat yang ditawarkan. Tapi sebagai anak kampung yang berkesempatan sekolah di kota setelah 9 tahun menghabiskan masa sd-smp di desa, dimana kesempatan ini juga adalah hal yang amat langka bagi orang-orang di desa saya, maka kesempatan ini adalah hal yang sangat besar bagi saya. Semacam dreams come true. Dunia rasanya terbuka lebar dan saya sangat bersemangat mencoba apapun yang ada didepan mata.

Hari-hari berjalan dengan biasa. Saya suka sekolah saya dan menceburkan diri ke banyak kegiatan. Mendaftar osis, pmr, rohis dan sambil sesekali ikut anak pramuka kemah wkwk. Saya dikenal sebagai siswa yang aktif dan lumayan berprestasi. Ketika kelas tiga, saya mulai jenuh. Ya hidup yang kelitan sempurna ternyata bisa bikin jenuh wkwk. Saya jenuh karena akhirnya otak saya mulai mikir jauh. Mulai mikir tentang masa depan sekaligus memahami realitas.
Kakak-kakak kelas saya kesulitan mencari pekerjaan selepas sekolah, meski katanya kami adalah lulusan yang "siap kerja". Ujung-ujungnya mereka hanya menjadi orang-orang yang saya sebut kuli korporasi. Menjadi kasir minimarket maupun supermarket, jadi spg atau spb, sales smartphone, waiter, dan lebih banyak lagi yang pengangguran. Saya tidak menyebut pekerjaan mereka rendahan hanya saja saya sedih. Beban kerja mereka ga sepadan dengan kompensasi yang mereka dapatkan. Kerja full seminggu selama 12 jam sehari. Gaji mereka cuma sampai buat hidup bulan depan. Kadang-kadang itupun dipotong karena berbagai kesalahan, seperti datang terlambat, merusak barang, dll. Ditambah lagi ijazah mereka ditahan sampai batas kontrak kerja habis. Iya. Itu mah wajar-wajar aja di dunia kerja. Mereka juga kadang tidak punya pilihan lain. Anak yang menjadi tulang punggung keluarga. Harus bekerja agar adik bisa sekolah dan keluarga bisa makan. Meskipun tampaknya pekerjaan mereka tidak punya masa depan. Akan berakhir begitu saja. Iya kalau kontraknya diperpanjang, kalau engga?

Bohong sekali yang bilang nanti bisa kuliah sambil kerja. Hanya segelintir sekali yang bisa melakukan itu. Nol koma sekian persen yang bisa masuk bumd atau perusahaan dengan office hours normal. Yang kenal dengan weekend. Itupun mereka bisa kerja setelah cukup mapan. Setelah sekitar 2 sampai tiga tahun bekerja baru bisa ambil kelas karyawan di universitas swasta. Yang mahal tapi banyakan abal-abal. Sekedar mencari gelar biar bisa naik jabatan. Lebih sedikit lagi yang punya kehidupan kerja dan kuliah yang normal.

Saya waktu itu, dengan idealisme yang masing sangat tinggi dan menggebu. Memutuskan tidak akan memilih jalan yang sama. Saya akan memilih jalan yang berbeda. Maka, niat untuk kerja saya urungkan dan memilih kuliah di tempat yang beneran bagus. Biar saya lebih banyak belajar. Biar saya lebih luas pertemanan. Biar nantinya, saya punya lebih banyak kesempatan besar atas sebuah janji kehidupan yang lebih baik.

Pemahaman tentang proses belajar yang penting bukan nilainya yang penting pun sebenarnya saya mulai dari sini. Saya ga mau lagi dijanjikan kuliah sambil kerja. Saya tau universitas univeristas yang bisa disambil kerja itu, ga akan ngasih apa yang saya pengen. Saya butuh proses belajarnya, saya butuh kelasnya, saya butuh proses yang bikin saya mikir dengan bener. Bukan sekedar kuliah lalu wisuda dengan gelar saja. Saya mau prosesnya. Maka, satu satunya pilihan yang saya punya adalah kuliah, di kampus yang bisa memberikan semua itu, a.k.a kampus negeri. Dan yang hanya satu kampus negeri di daerah saya yang masuk kategori itu. Universitas Sriwijaya. Kampus saya sekarang. Yang ternyata butuh dua tahun setelah lulus smk baru bisa saya dapatkan.

Bagaimana Gap Year Bermula
Populasi siswa yang berhasil melanjutkan kuliah dengan normal di sekolah saya paling banyak hanya 10 persen. Jadi misal seangkatan ada 300 orang, maka yang kuliah ya cuma 30 orang. Dari 10 persen itu, lebih sedikit lagi yang masuk kampus negeri. Kakak kelas angkatan yang tepat diatas saya, hanya 1 orang yang lulus snmptn. Lalu satu orang lagi lulus sbmptn. Sebagian kecil lainnya masuk politeknik. Sebagian lainnya masuk UIN. Sisanya kampus swasta.
Saya gap year 2 tahun, punya cukup waktu buat menganalisa yang beginian wkwk.

Maka, saya sebenarnya sangat clueless ketika kelas 12. Ga tau strategi-strategi dalam ber-snmptn dan ber-sbmptn. Saya ga tau kalau milih jurusan tuh harus linier. Saya ga tau kalau ada hitung-hitungan peluang. Berstrategi biar peluang lulus maksimal. Ga tau. Ga ada yang ngajarin. Ga nanya. Dan ga tau harus nanya dengan siapa.


Dikelas 12 ini juga saya sadar, bahwa saya ga cocok dengan jurusan saya di smk ini. Saya ngomel-ngomel "apaan nih, gini doang belajar selama 3 tahun?". Mulai dari sini juga saya eksplorasi banyak bidang ilmu lain. Mencari yang beneran saya pengen. Pada waktu itu, pilihan saya adalah kepengin banget jadi guru. Cita-cita masa kecil saya. Terlebih guru sekolah dasar. Makanya saya rada lebay gitu sekarang kalau liat anak fkip wkwk.

Setelah tewas dengan menggenaskan di snmptn, saya ikut sbmptn. Sekarang lebih realistis. Mulai paham dikit-dikit strategi ujian. Belajar mengejar materi sma 3 tahun dalam waktu sebulan wkkw. Karena di smk kan ga diajarin materi yg bakalan diujikan terlebih bagian tes kemampuan dasar soshum.
Ujian sbmptn terasa lebih menegangkan. Saya sih pede aja. Sembari mempersiapkan ujian, saya juga mulai melempar beberapa lamaran kerja di beberapa perusahaan. Dan selalu berakhir sama : ditelpon, wawancara, gagal. Terjadi berkali-kali. Selalu kalah di bagian wawancara.

Terakhir, saya dipanggil wawancara h-1 ujian sbmptn. Sebagai admin dan accounting bimbingan belajar terkemuka di kota Palembang.

Ada pertanyaan yang dikemudian hari saya sadari sebagai penyebab kegagalan saya :

"Kamu masih muda banget, baru juga lulus, ga punya niat buat kuliah?"

"Sebenarnya saya mau kuliah, Mas. Besok saya ujian sbmptn"

Esoknya saya dimarahi senior saya.

"Dek kalau mau kerja itu, jangan bilang mau kuliah. Ga bakalan diterima"

Oke. Baiq. Saya baru paham wkwk

Waktu bergulir. Pengumuman sbmptn udah hitungan menit. Sebenarnya saya udah nangkring di web itu sejak count downnya masih hitungan jam. Tegang sekaligus exciting. Pilihan pertama saya, PGSD. Kedua, Bimbingan Konseling. Keduanya di kampus yang sama. Kampus saya sekarang.

Hasilnya?

Saya (sebenarnya) lulus pilihan ketiga.
Ilmu Komunikasi kampus sebelah. Bukan. Bukan kampus saya sekarang wkwk.

Kecewa? Ga juga sih. Saya sih seneng seneng aja. Yaah bisa kuliah meskipun bukan di kampus yang saya pengen banget. Yaudah gapapa. Bersyukur. Banyak yang ga lolos diluaran sana.

Tapi hidup bukan hidup kalau ga ada rasanya. Bukan hidup kalau semua yang kita pengen magically come true. Ga gitu cara kerja dunia.

Kampus itu terpaksa saya lepas karena masalah ekonomi. Fyi, keluarga saya kehilangan separuh penghasilan ketika saya naik kelas 12. Makanya saya digadang-gadang buat kerja sebenarnya. Tapi yaudah, karena saya ngotot mau kuliah mereka mengiyakan. Tapi ya namanya takdir, semua penghasilan bapak ga bisa ditarik diambil selama periode pembayaran ukt itu. Udah. Ga bisa engga. Mau gimana lagi? It's over.

Sedih? Banget. Kecewa? Apalagi. Hidup rasanya selesai disitu. Saya menguatkan diri saya dengan bilang "gapapa gapapa gapapa" tapi ya namanya ada ap-apa, mana bisa pura-pura. Yaelah lebay sih. Tapi seriusan tjoy, rasanya lebih sakit daripada patah hati.
Saya berhari-hari nangis. Maklumlah ya, masih muda dan lemah. Akalnya belum tumbuh sempurna. Dikemudian hari, saya kemudian paham bahwa ada yang lebih sakit dan patah hati dibandingkan saya, ibu dan bapak.

Life must go on.
Waktu ga berhenti berputar meski saya sedang berhenti bergerak. Saya masih muda. Masih belum mencoba banyak hal. Masih banyak kesempatan. Mari menghabiskan jatah gagal.

Karena sejak smk saya ngekos dan udah jadi anak rantauan. Bapak dan ibu saya sebenarnya meminta saya untuk pulang. Nanti aja merantau lagi kalau udah dapet kerja. Sayanya yang ga mau. Ada mimpi yang minta dihidupi. Mimpi saya ga bakalan gerak kalau saya cuma duduk diam dirumah. Saya memilih tetep tinggal di palembang.

Konsekuensi logis dari pilihan itu adalah saya harus menghidupi diri saya sendiri. Udah ga sekolah lagi. Ngapain lagi disana? Kalau mau tetep bertahan disana ya harus kerja dan menghidupi diri sendiri.

Hidup jadi mudah ditebak. Keliling kota sambil nenteng lamaran kerja. Ditolak sana sini. Dipanggil wawancara eh ditolak juga. Ngelamar di bumd gagal juga. Hadeh. Tambah blur rasanya hidup. Sementara temen-temen saya yang kaya-raya itu, udah nangkring di ruang ber ac kampus mereka masing-masing. Foto di sosmed memarkan almamater kampus masing-masing. Ikut hima. Ikut kegiatan inilah itulah.


Kadang rasa iri bikin saya pengen maki mereka "yaelah lu dulu dikelas kerjaan tidur doang" atau saat mereka update status "tired", saya dari jarak ratusan kilometer rasanya pengen teriak "yaelah apaan sih yang bikin lu capek, sini gua ajarin apa itu capek"

Wkkw parah banget. Begitulah kalau hidup sedang tidak bersahabat. Kit selalu liat dari sisi ga enaknya aja. Itu juga yang buat saya jadi males ketemu teman lama, selalu ditanyain "Kuliah dimana?" dengan berbagai macam varian intonasi. Mulai dari emang nanya beneran sampe meremehkan. Itu mah yang tersirat ya, yang tersurat ngatain pun ada. Lelah eike. Hidup udah berat jangan ditambah berat lagi plis. Disitu juga saya belajar kalau kita tuh sesekali emang perlu menulikan telinga.

Sebenarnya nyari kerjaan bagi lulusan smk ga susah susah amat. Asalkan mau berkompromi dengan keadaan. Temen temen saya yang kerja jadi pramuniaga, yang kerja di departement store kayak mataha**, grand **, dll itu biasanya berkompromi dengan satu hal : harus lepas hijab. Itu sudah jadi rahasia umum. Kalau ketemu alumni yang kerja disana, dan kebetulan mereka berhijab pasti selalu ditanyain

"Kakak kerja di xxx ya? Bukannya katanya ga boleh pake jilbab ya kak?"

"Iya dek, kakak kalau kerja ga pake jilbab"

Kalaupun boleh, ya tau sendiri bentuknya kayak gimana. Dililit sana sini. Dilipat sana sini. Saya, ga mau ambil pilihan itu. Belum lagi waktu yang sangat ga manusiawi, waktu adalah milik mereka. Bukan milik kamu. Udahlah ga bebas berpakaian, tenaga terkuras habis, kompensasi ga sesuai, ijazah ada juga yang ditahan. Lebih sedih lagi teman-teman yang kerja jadi sales, upahnya per target penjualan. Oke. I'm done. Saya ga akan kesana, kata saya pada diri sendiri. Allah kan yg ngasih rejeki? Bukan bos. Jadi mana mungkin bikin hambanya yang mau belajar taat susah?

Pekerjaan pertama yang kemudian saya dapatkan adalah jadi tutor anak berkebutuhan khusus. Kasus "anak saya" waktu itu adalah autism. Pekerjaaan ini yang kemudian ngajarin saya sabar yang luar biasa. Sehari pertama tangan saya lecet lecet karena dicakar. Hari kedua tambah lecet. Hari ketiga bekas kukunya udah pindah ke tempat lain. Hari keempat saya ngejar ngejar dia yang berusaha manjat jendela. Barulah hari kelima saya bisa dapet perhatian dia, itupun cuma 2 menit. Setelah itu lepas lagi. Saya lelah ey. Kerja gini amat yak.

Lain waktu, saya pernah nangis beneran. Udahlah capek ngajarin dia, eh dianya bab pulak di sekolah. Siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan saya? Ya Allah nyari duit susah banget yak.

Terlepas dari lelahnya saya, tempat kerja ini ngajarin saya sabar dan syukur yang luar biasa. Juga mengenalkan orang-orang yang keren. Ada Bu Dini, ibu ibu yang udah kayak ibu saya, menguatkan saya kalau saya rasanya mau menyerah, selalu bilang kalau saya bisa. Bu Dini, yang suka bawa sarapan lebih dan juga bawain saya. Yang minjemin saya baju buat seragaman pas manasik haji. Ya ampun bu din, aku rindu :(

Ada bu Harti, bu ibu juru masak di sekolah. Selalu menyisihkan lauk buat saya kalau saya telat makan siang, sering ngumpetin beberapa cabe rawit kalau masak sup karena beliau tau saya suka pedes, semantara anak-anak ga boleh makan pedes.

Ada Mba Ely, yang udah beneran kayak mba saya. Temen curhat, temen cerita, teman yang ngajarin saya berbaik sangka sama Allah. Teman yang memastikan saya hidup dengan benar. Makasih mba el, i do really miss u :")

Dan banyak lagi..

Anak-anak disana lebih lebih lagi. Felicya, anak istimewa yang punya kekurangan dengan pendengarannya. Selalu manggil saya "ibu ibu.. Liat feli". Sambil memamerkan jilbab barunya, baju baru, atau kotak pensil frozen yang baru saja dia beli. Lalu akan tersenyum lebar saat saya memujinya. Dia juga suka sekali bercerita, jam istirahat akan dihabiskan dengan dia menceritakan kelakuan kakaknya, papanya atau mamanya. Ditengah kekurangannya berkomunikasi ia tetap semangat bercerita. Felicya juga ngajarin saya, kekurangan bukan alasan untuk mengenal Tuhan. Saya selalu takjub tiap kali dia selesai menyetor hafalan. Atau taatnya dia mengenakan jilbab tiap kali selesai wudhu. Padahal dia baru 7 tahun.

Abang Adit lain lagi, ia sama spesialnya seperti Felicya. Tapi ialah yang paling ceria menyapa kami tiap kali sampai disekolah. Paling keras juga menegur saat saya minum sambil berdiri atau saat saya marah-marah.

Geng anak-anak TK yang selalu saya tungguin ketika orang tuanya telat menjemput. Teteh Maryam yang manis, kakak Aisha, Mba Syifa, Kakak Abiyyu, Abang Dani dan saya selalu takjub bagaimana orang tua mereka minta maaf karena telat datang.

"Maafin abi ya teh"


Pekerjaan disana ga ngasih materi banyak ke saya tapi memberikan saya banyak banget pelajaran hidup. Dulu, hampir ga ada yang percaya umur saya baru delapan belas. Kerjaan ini sebenarnya juga banyak diremehkan orang dan sering bikin insekyur juga.
Ya gimana gaji saya ga seberapa.

Kerjaan ini ngasih saya kesempatan buat tinggal di kantor. Kantor ini punya kamar dan dapur. Karena saya tinggal disini, selain ngajar saya berkewajiban juga buat memastikan tempat ini bersih serta ke pasar tiap pagi buat snack dan makan siang orang satu sekolahan.

Jadi meski ga seberapa, kerjaan ini sangat ideal, karena saya bisa punya tempat tinggal sekaligus nyicil belajar. Disinilah saya menghabiskan waktu satu tahun sampai sbmptn berikutnya. Sbmptn yang ternyata juga tidak berhasil saya taklukan.

Komentar

  1. Terharu sm ceritanya. Emang bener ya.. Allah tuh selalu kasih yg lebih baik meskipun awalnya kita kira itu gak baik..

    BalasHapus
  2. Waah ternyata kita seumuran yaa :D

    BalasHapus
  3. Sudah sejak lama ternyata mba ais ini ditempah ya, sungguh memang wanita yang kuat. Kagum saya🤗

    BalasHapus
  4. Tulisan ini mengajarkan saya akan arti kehidupan yang belum saya ketahui.. Terimakasih~

    BalasHapus
  5. Hm, ternyata Mbak sekuat dan setangguh ini dalam menjalani liku kehidupan. Salut :) mungkin kalo saya berada dalam situasi yang sama, belum tentu mampu kuat seperti yang Mbak lalui. Saat itu Mbak di uji oleh Allah. Dan sekarang Mbak udah naik kelas karena berhasil dalam ujian tersebut. Semangattt Mbakk �� gak terlalu kaget juga ketika Mbak Nulis tentang gepyer, karena waktu itu sempat ada yg ngasih tau walau gak detail:"

    BalasHapus
  6. Baca tulisan ini sambil dengerin lagunya Coldplay. Yah, Ndak salah emang kakak jadiin adek sebagai kawan diskusi masalah-masalah serius dan berat. Karena adek bahkan secara pengalaman dan keilmuan lebih baik dari kakak

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir