Sabtu Bersama Bapak, Sebuah Review

Sabtu Bersama Bapak merupakan novel best seller karya Adhitya Mulya. Buku ini juga sudah di filmkan dengan review yang saya liat sih lumayan. Kapan hari saya juga pernah baca review bukunya, lumayan juga. Meski begitu, saya belum tertarik buat baca atau nonton, sampai beberapa hari yang lalu saya menemukan kutipannya di tumbrl, dan itu cukup membuat saya tertarik sampai dan mulai membaca buku ini.

Setelah membaca sekitar seperempat isi buku, saya sudah agak jengah. Haduh. Pemilihan diksi dan gaya berceritanya cukup menganggu saya. Terkesan kaku. Patah-patah. Penulis juga melemparkan beberapa lelucon yang menurut saya tidak lucu. Tapi rasanya tidak adil mereview padahal belum selesai baca. Nah, karena saya udah selesai baca, dan udah nonton juga, mari kita ulas.

Buku ini, menurut saya, sebenarnya sangat potensial untuk menjadi buku yang sangat bagus. Bercerita tentang Pak Gunawan, seorang ayah dari dua anak, Satya dan Cakra (Saka). Pak Gunawan mengidap kanker dan ia hanya punya sisa umur satu tahun. Sisa satu tahun itu, dimanfaatkan Pak Gunawan untuk merekam video-video yang berisi pesan-pesan kepada anak-anaknya. Video ini mereka tonton satu persatu setiap hari sabtu. Pesan-pesan inilah yang kemudian menemani Satya dan Saka tumbuh dewasa. Premis yang mirip-mirip dengan The Orange Girl-nya Joestin Gaarder, hanya saja Sabtu Bersama Bapak terasa lebih membumi, lebih dekat.

Tokoh Bapak disini, berusaha tetap hadir bagi anak-anaknya. Berusaha tetap menemani mereka hingga mereka dewasa.

Tetapi, seperti yang saya katakan di awal, pemilihan diksi dan cara berceritanya sangat mengganggu saya. Kaku. Patah-patah. Ya mungkin bagian ini masalah selera ya. Kemudian, lelucon yang dilemparkan penulis menurut saya tidak lucu. Lawakan bertema "dewasa" dan "tidak ramah lingkungan" rasanya kurang cocok untuk buku bertema keluarga. Apalagi dari judulnya, buku ini membawa peran ayah yang amat krusial dalam keluarga. Tapi yang saya rasakan ya cuma kelakukan anak-anaknya yang kok yak gini amat. Yang satu player kelas kakap, yang satu jomblo akut yang garing banget. Kemudian, detail yang menurut saya sangat tidak perlu. Emang perlu banget si Saka bahas fungsi obat kuat sampe sedetail itu sama Ayu? Perlu sekali bahas perspektif dia tentang hal itu?. Juga Satya yang cinta banget sama istrinya, Rissa, tapi yang didetailkan justru gimana fisiknya Rissa yang ujung-ujungnya mengarah ke adegan dewasa lagi. Iya sih suami istri. Tapi perlu banget didetailkan? Itu baru beberapa, banyak lagi detail serupa (yang terkesan jorok) yang menganggu.

Hal-hal diatas mungkin menganggu saya karena perbedaan value yang dianut. Perbedaan perspektif saya memandang hal-hal tersebut. Bisa jadi, bagi sebagian orang itu biasa aja. Wajar. Sangat lumrah. Bahkan ada ada aja buku yang lebih parah dari ini. Terlebih, value yang disampaikan tokoh Bapak cukup religius menurut saya. Tergambar dalam percakapan Saka dan Ayu yang sangat insightful :

"Saka: Kata Bapak saya… dan dia dapat ini dari orang lain.  Membangun sebuah hubungan itu butuh dua orang yang solid. Yang sama-sama  kuat. Bukan yang saling ngisi kelemahan, Yu. Karena untuk menjadi kuat,  adalah tanggung jawab masing-masing orang. Bukan tanggung jawab orang  lain.

Saka: Tiga dikurang tiga berapa, Yu? Nol. Nah. Misal, saya gak  kuat agamanya. Lantas saya cari pacar yang kuat agamanya. Pernikahan  kami akan habis waktunya dengan si kuat melengkapi yang lemah. Padahal  setiap orang sebenarnya wajib menguatkan agama. Terlepas dari siapa pun  jodohnya."

Value yang menurut saya bagus sekali. Bahwa menjadi baik dan kuat, adalah tanggung jawab masing-masing. Melawan pemahaman umum bahwa hidup harus saling melengkapi.

Hal lainnya yang saya ga suka adalah alur gabung yang ga smooth. Transisi dari masa sekarang ke adegan video bapak terasa sangat kasar. Lebih pengen skip ketimbang baca, padahal pesan yang disampaikan bapak sebenarnya krusial sekali.

Mengejutkannya adalah : filmya ternyata keren.

Aseli. Karakter mereka dapet sekali di film ini. Mungkin karena pemainnya emang udah ga diragukan lagi ya. Ada Deva Mahendra sebagai Saka, Sheila Dara yang jadi Ayu, Rissa diperankan Acha Septriasa. Abimana Aryasatya yang jadi Bapak.

Tergambar sekali karakter Saka yang lawak banget dan sangat awkaward didepan perempuan, juga cantik dan pinternya Ayu. Satya yang agak agak bangsat. Rissa yang emang cantik banget. Ira Wibowo yang pas banget jadi ibu mereka. Duet Jennifer Arnelita dan Ernest sebagai Wati dan Firman juga juara banget sih. Mampu jadi penyegar di film ini. Agak kurang mungkin di peran Abimana ya, bukan karena dia ga cocok memerankan tokoh Bapak. Tapi karena dia menurut saya terlalu muda untuk jadi suami Bu Ira :(
Oh ya, film ini settingnya adalah kota Bandung yang buat jadi pengen banget kesana.

Film ini bagus karena emang cerita utama dari bukunya emang udah bagus, plus hal hal yang menganggu saya juga ga ada. Lawakannya pas. Ga garing. Ga jorok. Dan ga ada detail yang ga perlu.
Saya sudah agak hati-hati pas masuk ke cerita Satya dan Rissa eh tapi ternyata adegan mereka juga aman-aman aja. Gak kayak dibuku. Pertemuan  mereka disini juga diubah sedikit dari buku aslinya, yang menurut saya malah jadinya lebih keren. Konflik rumah tangga mereka juga sangat dekat sih. Hal-hal kecil tapi bisa berdampak besar.
Paling inget pas mereka berantem besar, terus Rissa yang biasa manggil suaminya dengan sebutan "Kakang" tiba tiba malah nyebut nama suaminya. Duh saya denger sambil liat mata Rissa jadi ikut teriris-iris hatinya.

Tokoh Saka juga dapet banget sih. Saltingnya dia pas ketemu Ayu sungguh bikin ngakak. Natural sekali. Juga dialog mereka yang paling memorable itu. Digambarkan sangat pas disini.

Pesan-pesan yang disampaikan Bapak mereka juga terlihat sangat mempengaruhi mereka disini. Dan itu smooth banget. Ga keliatan maksa. Murni seorang anak yang mengidolakan bapaknya. Saya seolah bisa liat itu dari sosok Satya dan Saka disini.

Biasanya sih saya suka marah-marah kalau ada film adaptasi buku yang banyak diubah dari buku aslinya. Tapi film ini engga. Perubahan itu justru bikin filmnya makin keren dan makin bisa dinikmati. Ujung-ujungnya saya mikir, duh emang cerita ini lebih bagus dibuat versi film ketimbang tulisan. Lebih dapet.

Ada satu adegan yang bikin saya beneran nangis disini. Yaitu saat Bapak udah selesai merekam seluruh video, terus dia bilang gini ke istrinya :

"Kamu yang akan menjadi masa depan mereka. Saya hanya akan menjadi masa lalu di layar yang menolak untuk menghilang"

Nyes. Sedih banget sih.

6/10 untuk bukunya dan 8.5/10 untuk filmnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir