Patah Hati

"Patah hati yang disengaja, adalah berharap pada manusia" - Seseorang

Mari membicarakan tentang bagian-bagian ga enak dari kisah cinta. Eaak.

Aku pernah patah hati, pertama dan satu-satunya. Rasanya gimana? Hambar. Bahkan saat menghabiskan semangkuk ice cream rasa coklat, ga bisa juga kurasakan manisnya. Memangnya sebegitu sakitnya? Iyaaaah. Sampai aku membentuk dinding tebal yang ga bisa dilalui siapapun saking parnonya aku dengan patah hati. Menyingkirkan siapapun sebelum mereka masuk. Bahkan jangankan masuk. Melihat temboknya saja tidak akan ku biarkan.

Mungkin bagi sebagian orang patah hati adalah kejadian biasa. Lebay deh semua orang juga pernah kali patah hati. Biasa aja. Sembuh kok dengan menemukan orang baru. Harus mup on. Liat kedepan. Lupain masa lalu. Hohoho disinilah bedanya kita teman.

Ayo sedikit bercerita tentang siapa lelaki yang berhasil meremukkan hati itu. Dia sebenarnya biasa aja. Tidak istimewa. Ganteng juga engga terlalu sih. Pinter? Hmmm setidaknya dia bisa jadi teman berdebat yang cukup sengit, teman diskusi berjam-jam, jadi lumayanlah ya. Baik? Duh kebaikan itu relatif sekali. Semua orang juga "baik" berdasarkan standar masing-masing. Jadi apa yang membuatnya dia spesial? Karena.... dialah yang mengubah hampir keseluruhan hidupku.

Aku umur 16 tahun hanyalah remaja tanggung yang hidupnya serba nanggung. Jahat engga, bandel engga, tapi juga ga sholat dan ga hijaban juga. Astagfirullah. Itu harusnya masuk kategori jahat ya?. Hidup juga ga jelas mau dibawa kemana. Yaudah jalanin aja. Nanti juga lulus, kuliah, kerja, menikah dan selesai. Ga punya mimpi. Apalagi tujuan hidup yang fundamental. Yaudahlah ya ngalir aja kayak air. Eh dia ga tau air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kalau sekarang aku adalah orang yang overthinking dan rumit, dulu kebalikannya... Ga pake mikir. Toh hidupku juga enak-enak aja. Sekolah, dapet nilai bagus, punya banyak temen, aktif ikut organisasi, pulang sekolah ya bikin pe-er, diajak temen jalan ga mau karena besok harusnya ujian, ga suka nonton tipi karena ga berfaedah, dan hobinya menyalin ulang catatan atau ngerjain matematika. Wlwkw parah. Freak banget yak gw dulu. Hidup yang sangat hitam putih. Flat. Tapi dari luar, itu hidup yang nyaris sempurna. Tanpa tau ada kekosongan yang amat dalam disitu.

Lalu satu waktu, dia dateng. Dia dateng dengan hidupnya yang sangat berbeda, kayak chitato, never flat. Dia bercerita dengan banyak bagian kegagalan dalam hidupnya. Aku sih ga pernah gagal, lah orang ga pernah ngapa-ngapain. Dia menunjukkan banyak bagian ga enak dari hidup. Dia juga punya mimpi dan dengan bersemangat memperjuangkan mimpinya. Dia mengajari aku melihat dunia dari sisi yang berbeda. Hey. Dunia ini luas. Keluar dari tempurungmu dan berlarilah bersamaku. Mirip-mirip Awan yang ketemu Kale lah wkwk bedanya Kale-ku ga bgst. Eh atau bgst juga ya? Eh btw kok pake imbuhan "ku" sih, memangnya pernah memiliki? Haha

Dia juga yang menunjukkan aku hakikat kehidupan. Bahwa, kita ini cuma seorang hamba yang sedang menjalankan amanah dari Allah. Buat apa sih hidup? Dia mengenalkan aku pada Tuhan. Juga pada tujuan diciptakannya manusia. Dan juga, mengajarkan aku berani bermimpi dan berani memperjuangkannya. Berani menghadapi ketidakpastian dalam hidup. Pelan-pelan hidupku berubah. Mulai sholat dengan bener. Mulai hijaban. Dan mulai menentukan tujuan.

Pada dasarnya, kami memulai cerita sebagai teman. Sahabat yang baik. Saling support. Tapi setan mah pinter banget nyari celah. Amat halus menghembuskan hal-hal indah pada sesuatu yang sebenarnya "dosa". Fyi, beliau ini akhi-akhi pada waktu itu. Dan aing pun dah mulai hijrah. Udah tau cowok dan cewek itu harusnya terpisah. Tidak perlu ada interaksi kalau ga perlu. Udah tau kalau pacaran itu dosa dan mendekati zina. Udah tau juga dah kalau hubungan kami ini udah ga sehat sebagai teman. Kayak Kale dan Awan gitu, tapi versi "anak baik nan sholih". Apakah kami pacaran? Engga juga. Tapi pacaran bukan cuma tentang status tapi juga aktivitas. Apalah arti status kalau tiap malam chatting, curhat-curhatan, saling lempar jokes rayuan yg diselingi bumbu harapan (kamulah tulang rusukku, euhhh jijik bat dah w), saling perhatian, (sok) saling peduli dan saling jagain, saling bilang rindu serta saling bilang sayang (silahkan tertawa). Udahlah fix. Mana ada orang yang katanya cuma temenan tapi begitu. Itu mah teman tapi (maksiat) mesra, atau hts-an kali bahasa kerennya. Hubungan "pertemanan" ini berlangsung cukup lama, sekitar satu tahun lebih. Hampir dua tahun kali ya.

Terus gimana akhirnya bisa "lepas"?. Diakhir kelas 12, saat w mulai dewasa (ceilah), saat akal mungkin mulai sempurna. Aku akhirnya menyadari bahwa hubungan ini udah beneran ga sehat. Merasa jadi orang sombong dan munafik karena ngaku anak hijrah, menjauhkan diri dari dosa, menjaga diri dari maksiat, menghindari lelaki lain tapi malah menikmati hubungan yang berlumur dosa itu. Beliau juga orang yang sebenarnya jauh lebih paham daripada aku. Masa ga malu sama Allah?. Lewat pemahaman itu aku akhirnya memutuskan untuk melepas dia (walaupun waktu itu masih sayang banget). Aku memutuskan untuk sempurna menghilang dari hidupnya. Memblokir semua akun sosial media. Mengganti nomer handphone. Melepas segalanya.

Kok ga diomongin baik-baik? Udah sering. Udah lama w merasa itu hubungan yang ga sehat. Sudah sering dikomunikasikan. Tapi pada akhirnya kami cuma akan pisah sehari dua hari, lalu balikan lagi. Ya begitulah, maklum waktu itu masih mudah dan lemah. Pada akhirnya, aku sudah sangat lelah dan merasa makin berdosa. Ditambah lagi, waktu itu banyak juga kejadian besar dalam hidupku. Kuliah yang gagal. Keluarga yang mulai jatuh secara ekonomi dan aku sebagai anak sulung yang banyak di harapkan. Nyari kerjaan ga dapet-dapet.


Waktu itu juga, proses hijrah membuatku kehilangan cukup banyak teman. Mungkin bisa dibilang, masa-masa itu adalah dark age bagiku. Sementara dia, sudah diterima di PTN dengan jurusan impiannya. Dapet beasiswa pula. Dia mengeluhkan hidupnya yang waktu itu menurutku ga seberapa dibandingkan aing yang keliling kota nenteng lamaran kerja. Intinya sih, kita sama-sama sedang butuh dikuatkan tapi tidak bisa saling menguatkan. Aku juga sudah terlanjur lelah dengan segalanya dan sudah merasa sangat bersalah karena menjadi sumber dosa bagi seseorang yang waktu itu amat disayangi.

Bismillah. Dengan harapan dia akan punya kehidupan lebih baik tanpa aku. Aku meninggalkan dia. Tanpa pesan. Tanpa kabar. Tanpa penjelasan. Gimana rasanya setelah itu? persis kalimat di salah satu novel Tere Liye :

"Aku harus menyibukkan diri, membunuh dengan tega setiap kali kerinduan itu muncul, berat sekali rasanya karena itu artinya aku harus menikam jantungku setiap detik"

(sampe hafal dong saking seringnya w baca kwwk)

Berat banget. Aku memaksa diriku untuk tidur lebih cepat agar tidak ada celah memikirkan dia. Bangun lebih awal. Mengerjakan banyak hal. Membaca buku. Ikut semua kegiatan di tempat kerja. Saat weekend pun, aku memilih mengajar les privat di beberapa tempat, juga mengisi beberapa ekskul sekolah demi mencari kesibukan. Sehingga saat malam, aku selalu sudah sangat lelah dan tertidur. Menjalani kehidupan sebaik mungkin. Berharap besok akan ada janji kehidupan yang lebih baik.

Tapi, kamu tidak akan bisa melupakan orang yang mengubah hampir seluruh hidupmu. Bagian diriku yang lain tidak ingin melupakannya. Ada malam panjang dimana aku tidak bisa tertidur, fisikku lelah, pikiranku lelah tapi mataku tetap enggan terpejam. Tak terhitung berapa kali rapalan namanya dalam tiap doa. Tak terhitung berapa kali aku meminta kekuatan. Wajahnya masih sering terlihat dimana-mana. Di kaca jendela, di piring kosong, di papan tulis, di langit langit kamar saat  aku tidak bisa tertidur, di bak mandi, bahkan juga di aspal seanjanh jalan pulang. Aku masih memikirkannya hampir setiap waktu. Saat duduk di halte menunggu bus, di dalam angkot yang ngetem, ketika pengamen mendendangkan lagu di bus, bahkan saat jeda pelajaran kosong saat muridku sedang bermain dan aku sendirian di kelas. Menyebalkan. Betapa sulitnya melupakan seseorang.

"Ada orang yang pergi tapi juga membawa separuh hati kita"

Aku yang pergi, tapi hatiku tertinggal lebih dari separuh. Bagaimana mungkin aku hidup dengan hati yang tinggal separuh? Hatiku sudah tidak utuh lagi. Hah. Helaan nafas yang terasa lebih panjang dan lebih berat.

Pada satu sore, dalam rangka menyembuhkan hati. Aku mencoba mengunjungi seorang sahabat. Teman baik sejak kelas satu. Perempuan. Cantik. Baik. Ceria. Aku membayangkan bisa menghabiskan malam dengan tertawa bersamanya.

Aku berjalan menuju komplek perumahannya yang sudah sangat ku hafal. Ini tempat main kami yang sejak jaman sekolah. Tempat yang dituju saat memutuskan bolos sekolah. Basecamp pada masanya.

Dan malam itulah aku mulai tidak merasakan apa-apa lagi. Malam itulah aku tidak lagi menangis karena aku sudah tidak tau lagi bagaimana caranya menangis. Malam itu juga aku terdiam lebih lama. Tidak lagi merasa sedih karena aku tidak lagi mengenali perasaan itu.

Sahabatku ini, teman baikku ini, orang yang menjadi tumpahan cerita, malah berpacaran dengan seseorang yang setengah mati berusaha kulupakan.

Aku tidak peduli berapa lama hubungan mereka, aku sudah tau mereka saling mengenal karena itupun aku yang mengenalkan. Aku tidak peduli bahkan jika "Kale-ku" itu sudah pernah datang kerumahnya. Aku tidak peduli isi chat mereka yang sangat menjijikkan, aku tidak peduli mereka saling menelpon sepanjang malam. Aku tidak peduli apa-apa lagi. Aku hanya tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku tidak mengerti bagaimana dunia berkerja. Aku tidak mengerti bagaimana seseorang begitu mudah melupakan. Aku hanya menyadari satu hal, aku amat naif selama ini, amat bodoh menganggap segala yang terjadi selama ini nyata. Amat bodoh karena melibatkan perasaan. Merasa dikhianati? Aku bahkan tidak berhak marah, karena pada dasarnya kami tidak pernah punya ikatan apa-apa.


Dasar aku, yang masih sangat muda, bodoh, dan lemah. Terlalu serius menganggap segala yang telah terjadi. Padahal bagi mereka, semua ini hanyalah permainan. Kesenangan.

Aku terdiam cukup lama malam itu. Menghela nafas lebih panjang dan berat. Aku memang hanyalah seorang anak kecil dan kehidupan adalah sebuah mimpi buruk. Jika ini mimpi buruk, bolehkah aku bangun saja?


Malam itu mengubah segalanya. Aku berhenti menangis. Berhenti bersedih. Yang ku tau hanyalah, aku harus menyelamatkan diri sendiri. Dan itu yang sedang kulalukan. Hidup masih sangat panjang. Aku tidak bisa berhenti hanya karena sebuah patah hati. Perasaan itu kecil sekali dibandingkan mimpiku yang besar. Aku seorang kakak, seorang anak, seorang hamba.. ada banyak kewajiban yang harus dijalankan. Aku harus terus berjalan.

Ada banyak hal yang berubah dariku setelah itu. Memberi batas sangat jelas pada siapa yang boleh masuk ke hidupku dan siapa yang tidak. Siapa dan apa yang harus dipedulikan dan siapa dan apa yang harus diabaikan. Kata-kata yang berubah kasar dan sarkas. Bahkan tidak segan-segan "mengusir" seseorang tanpa mempedulikan perasaannya. Menaruh kecurigaan pada banyak orang. Overthinking. Penyendiri. Tertutup. Pendiam. Bodo amat. Pikiranku seharusnya menyadari apa yang harus ku genggam dan apa yang harus ku lepas. Bahkan, hasil mbti ku pun berubah dari ekstrovert ke introvert dengan kadar yang cukup ekstrim.


Banyak yang bilang aku sangat dingin pada laki-laki. Tidak ada lagi yang berani mendekat dengan niat lebih dari sekedar teman. Kupikir bagus juga, jadi aku tidak perlu repot menghadapi drama yang sama. Lelah eiki. Dosa pula kan. Teman-teman seangkatan yang usianya lebih muda karena aku anak gap year juga memperlakukan aku sebagai kakak, dan itu juga sebuah keuntungan. Mereka berlaku sopan dan tidak berusaha menembus tembok yang ku buat. Baguslah. Jadi aku tidak perlu menyakiti seseorang untuk mengusirnya.

Apakah aku tidak merasa sepi?
Kesepian bukanlah kesepian jika tidak kamu rasakan dan besar-besarkan. Lagipula, aku tidak mau menukar rasa sepi dengan patah hati lagi. Jatuh cinta sekali. Patah hati juga cukup sekali. Tidak usah diulang.

Lagipula, kenapa pacaran disebut sebagai sebuah ikatan? Padahal pacarmu itu cuma orang asing yang kapan saja bisa meninggalkanmu. Hal ini juga yang bikin aku kesal dan gedek lebay gitu kalau seseorang merasa bertanggung jawab atau berhak menuntut tanggung jawab atas seseorang. Plis kamu dan dia itu bukan siapa-siapa. Hidup dulu dah yang bener. Pacaran itu maksiat. Dosa. Udah ga usah ditawar. Kamu juga hafal banget dalilnya. Bukan cuma pacaran sih, tapi juga ttm, hts, kakak adek zone, friend zone, ojek zone, dll.

Udah, tinggalkan atau halalkan.
Jangan bikin patah hati yang disengaja, dong.


Terus gimana nih? Masih anti sama cowok? Lumayan wkwk kata seseorang sih "harus membuka diri" tapi w masih mikir ngapain membuka diri kalau kita belum siap? Hidup dulu aja dah yang bener. Selesaikan kuliah. Jadi hamba yang taat. Banyakin ilmu. Sembari menunggu seseorang yang cukup kuat dan berani menembus tembok tebal itu.


Mari tutup dengan quotes favorit sepanjang masa :

"Karena yang serius akan menjadikan kamu tujuan, bukan pilihan yang diambil karena telah dibanding-bandingkan"


Mantaps
Barakallahu fiikum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir