Asam Manis Hidup Seorang Gap Year-er (2)

"Impian yang besar, tidak akan diraih dengan keteguhan yang kecil, sebab jarak antara harapan dan kenyataan, adalah lapis-lapis ujian"  - Syarbaini Abu Hamzah


Kutipan itu adalah kalimat favorit saya, tiap kali mencoba menguatkan diri sendiri. Menjadi penyemangat kala hati lemah, menjadi energi kala lelah. Lapis-lapis ujian yang saya jalani sesungguhnya juga adalah lapis-lapis keberkahan.

(bagian pertama dari tulisan ini bisa dibaca disini)

Satu tahun saya menghabiskan waktu mengajar di sekolah itu. Meski nyaman dan banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan, pekerjaan ini tetap tidak memberikan gaji yang besar. Jauh dibawah upah minum yang ditetapkan pemerintah. Maka, untuk menambah penghasilan, saya mencari pekerjaan lain. Saya diterima menjadi pengisi eksul salah satu smp di palembang dan juga menerima berbagai les privat ke rumah rumah. Pagi mengajar disekolah, siang hingga sore ke smp atau ke rumah murid. Maka satu tahun itu terasa amat melelahkan, hari hari terasa berat dan panjang. Tak jarang saya harus jalan kaki jauh sekali untuk menghemat ongkos becak yang bisa belasan ribu. Lokasi tempat kerja saya yang jauh juga cukup menyita waktu. Saya pun jadi terbiasa istirahat dimana saja, di halte atau di bus transmusi misalnya. 

Saya tidak sempat mengeluh atau menangis lagi, fisik sudah terlalu lelah. Pikiran saya juga lelah. Tak jarang, saat memperhatikan anak seusia saya berangkat kuliah atau sekedar pergi jalan dan makan dengan teman-teman mereka, saya iri. Saya berharap punya kehidupan biasa seperti mereka. Tertawa bahagia dan menikmati hidup, membicarakan film dan buku terbaru atau sekedar membahas kelakuan absurd teman sekelas, bukan berkeliling kota memungut kepingan rupiah seperti saya. Hidup memang kadang selucu itu.

Ada satu kejadian besar juga tahun itu, ketiga adik saya mengalami musibah. Mereka kecelakaan motor bertiga. Mereka sedang dibawa ke rumah sakit di palembang setelah ditolak berbagai klinik dan puskesmas di daerah saya. Hari itu juga saat menerima telpon saya tidak bisa menahan tangis, padahal waktu itu saya masih di rumah teman saya yang baru sajala melangsungkan pernikahan. Pikiran saya campur adik. Cemas, khawatir bercampur takut. Teman-teman saya berusaha menenangkan saya, tapi sungguh saya tidak bisa menghentikan air mata. Adik bungsu saya bahkan harus dioperasi. Saya hendak bergegas, namun karena kondisi saya yang sangat kacau, teman-teman saya menahan. Mungkin karena putus asa, seorang teman setengah kesal setengah bercanda berkata :

"Udahlah kamu berhenti dulu nangisnya, nanti kamu dikira menangisi pernikahan ini"

Seketika saya terdiam. Membayangkan wajah teman lelaki yang tadi pagi baru saja mengucap akad. Kemudian memaki dalam hati. Ya kali gw nangisin elu, elu siapa tong?

Kalimat ngawur itu entah bagaimana membuat saya lebih tenang.

Waktu bergulir, hari berganti, tanggal berubah, dan tahun berlalu. The final battle itu akhirnya datang : ujian sbmptn kedua. Saya cukup pede hari itu, membawa segala berkas administrasi yang dibutuhkan, bersiap. Sebulan sebelum ujian, saya mulai menghentikan banyak aktivitas, berhenti mengisi eksul dan memberi privat. Fokus saja pada ujian.

Oh ya, saya dipanggil kepala sekolah saya seminggu sebelum ujian. Dia mempertanyakan kelanjutan pekerjaan saya jika saya berencana kuliah, diskusi itu mengarah pada satu keputusan : saya harus resign setelah tahun ajaran berakhir.

Sungguh sebuah keputusan nekat dan agak bego, kan belum tentu lulus tjoy. Yakin banget nih lulus tahun ini? Pede kali ngelepas kerja. Gimana kalau ga lulus? Mau kemana lagi?  Sebulan kemudian bener aja dong, nangis lagi depan laptop karena dapet kata "maaf" di pengumuman sbmptn.

Sungguh dunia dua kali lebih suram dari sebelumnya. Jatuh sekali itu sakit. Apalagi dua kali. Apalagi jatuh kedua ini sendirian, tak berteman dan tanpa pegangan. Apalagi ga cuma jatuh, tapi juga tertimpa tangga dan tembok. Stress. Menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan Tuhan juga pernah. Mempertanyakan keadilan, mana keadilan-Mu Ya Allah? Bukankah hidupku sudah cukup berat setahun ini? Bukankah aku juga lebih dekat kepada-Mu? Kenapa dulu saat aku melanggar segala perintah-Mu hidupku lebih mudah?

Saya persis karakter antagonis di sinetron azab. Lupa kalau Allah selalu adil, kita saja yang gagal mengenali bentuk keadilan-Nya. Lupa kalau ada yang disebut istidraj. Lupa kalau bentuk sayang Allah ga harus berbentuk nikmat tapi juga ujian. Lupa kalau ujian ujian ini bisa jadi adalah penggugur dosa dosa saya di masa lalu. 

Karena udah nganggur dan otomatis akan segera jadi gelandangan, saya harus mencari pekerjaan dan penginapan baru. Dua minggu pertama, yang saya lakukan hanyalah numpang dari kosan teman ke kosan teman lain, rumah teman dan rumah teman yang lain, beneran ga punya tempat pulang. Mengumpulkan koran koran dan menandai tiap info lowongan kerja. Keliling kota sambil masukin lamaran kerja. Dateng ke kantor pos berkali-kali. Duduk di trotoar. Di taman. Di halte. Di depan mini market. Alas sepatu sudah menipis, tas buluk, wajah kusam, kulit terbakar matahari, dan uang di kantong akan segera habis. Blur. Hidup kadang memang bisa setidak jelas ini.

Minggu berikutnya ayah menelpon, menyuruh pulang, bilang gapapa kok gapapa, gapapa kamu gagal lagi, gapapa kamu ga jadi siapa-siapa, kami selalu bangga sama anak-anak kami. Saya menangis tetapi menolak menyerah. Am i stupid or what? Entahlah. Saya hanya merasa belum saatnya untuk menyerah. Life is just playground or nothing, saya hanya sedang bermain saat ini.

".. Dan sesungguhnya dibalik kesulitan selalu ada kemudahan, sesungguhnya dibalik kesulitan selalu ada kemudahan.."

Diulang dua kali loh. Pake kata "selalu" pula. Tidak mungkin Allah melanggar janji-Nya. Saya saja yang tidak pandai bersyukur. 

Minggu berikutnya, saya pindah ke rumah saudara ibu. Tempat ibu saya dibesarkan waktu kecil. Tempat bibinya. Saya sering kesana sewaktu kecil dulu, dan memanggil beliau dengan panggilan "nenek". Saya dititipkan disana. Selama ini, saya tidak terlalu dekat dengan mereka. Karena... insecure. Mereka orang-orang berada dan terdidik. Ketiga anak "nenek" adalah orang kantoran yang hidup berkecukupan, bahkan salah satunya seorang pengacara yang cukup handal di palembang. Pada pemilu 2019 lalu, beliau bahkan menjadi  tim ahli hukum salah satu calon gubernur sumsel. Saya minder karena hidup saya isinya cuma kegagalan-kegagalan. Bahkan kuliah aja gagal. Terlebih, sejak saya tinggal di palembang, saya tidak pernah menemui mereka. Saya takut kalau hanya dianggap memanfaatkan. Tapi, itu satu satunya solusi yang masuk akal.

Dan sungguh, mereka adalah jawaban Allah atas segala kesulitan saya. Mereka adalah support system terbaik saya, bahkan sampai hari ini. Mereka mendukung tiap pilihan saya, menyediakan telinga untuk mendengarkan cerita, menganggap saya "hadir" bukan sekedar ada, saya akhirnya bisa tertawa lepas dan bersama mereka juga saya merasa mendapatkan kehidupan "biasa" itu. Berlembar-lembar tulisan saya ga akan pernah cukup menulis kebaikan-kebaikan mereka.

Karena punya support system yang baik, saya merasa lebih tenang dan bisa berpikir jernih. Ada tempat membagikan segala beban itu tanpa merasa akan ditertawakan.

Meskipun, sampai akhir pertengahan minggu keempat, saya juga tidak kunjung mendapat pekerjaan. Tidak mungkin lagi saya begini, mau sampai kapan? Akhirnya saya membuat keputusan hari itu : kalau sampai akhir bulan ini saya tidak mendapat pekerjaan, yasudah saya menyerah. Lupakan semua mimpi yang tidak masuk akal ini. Saya akan pulang. Berhenti. 

Gimana akhirnya? Tepat sehari sebelum bulan itu berakhir, Allah memberi saya kesempatan untuk tetap berjuang. Panggilan wawancara yang berujung pekerjaan. Menjadi admin bimbel. Bimbel nya tidak terlalu besar, tapi lumayan. Ada komputer dan internet yang lancar. Saya bekerja dibalik meja dari pagi hingga sore. Bimbelnya juga tidak terlalu jauh dari rumah nenek. Pekerjaan yang baik. Episode terakhir dari perjalanan sbmptn saya pun dimulai.

Belajar dari kegagalan sebelumnya, tahun ini saya berusaha lebih siap. Belajar dengan lebih giat. Saya mengumpulkan sedikit dari gaji saya untuk membeli voucher premium member zenius.net. Saya mulai mempelajari seluruh materi sbmptn dari basic thinking skills hingga materi tkpa dan tkd. Saya juga mulai mengatur strategi belajar. Mulai dari membuat countdown menuju hari h ujian hingga membuat daftar materi yang harus saya pelajari. Setiap hari sebelum subuh saya belajar, berhenti saat adzan subuh berkumandang. Bersiap bekerja sembari membersihkan rumah. Pagi hari ada dua kelas pagi di bimbel, setelah memastikan murid murid masuk kelas dan gurunya sudah mengajar, saya mengakses zenius menggunakan komputer bimbel. Saya punya buku catatan materi yang saya bawa ke mana-mana. Siang ke sore hari bimbel sangat ramai jadi saya tidak bisa belajar. Saya juga sampai membeli kertas pribadi untuk print soal soal. Pukul 5 sore saya sudah dirumah. Mengerjakan berbagai pekerjaan lalu akan belajar diantara jeda maghrib dan isya. Lalu setelah isya saya akan menemani kakek nonton hingga dia tertidur. Bercakap-cakap dengan kakek adalah kewajiban saya, meski dia sudah pikun dan sering mengulang-ulang cerita, saya lebih tidak tega meninggalkan dia sendirian. Orang tua kesepian yang pikun. Yang merasa dunia sudah meninggalkannya. Yang merasa hidupnya hanya membebani orang lain karena sakit puluhan tahun yang dideritanya. Saya hanya menyediakan telinga yang ia butuhkan, dan ia menyediakan kasih sayang orang tua dan kepercayaan yang saya rindukan. Selepas kakek tidur yang biasanya hampir tengah malam, saya akan melanjutkan belajar hingga mengantuk. Begitu lah yang terjadi setiap hari.

Tapi satu satunya kepastian didunia ini adalah ketidakpastian. Hidup semulus itu tidak berlangsung lama. Dua bulan sebelum sbmptn saya, bimbel kami tutup. Cekcok antara investor dan pengelola membuat saya harus mencari pekerjaan baru. Itu membuat saya punya pilihan gila. Bertahan sampai dua bulan saja. Setelah itu terserah hidup mau membawa saya kemana.


Saya mencari bimbel baru, mengajar privat lagi. Berkeliling kota lagi. Jalan kaki lagi karena ga punya ongkos. Berangkat jam 2 sore sampe jam 4 sore. Menghafal nama jalan. Terbiasa untuk belajar kapan dan dimana saja. Di angkot. Di halte. Bahkan juga pernah mencoba saat jalan kaki wkwk. Saya hafal tiap belokan kecil, lorong-lorong, nama nama gedung, tempat atau yang lainnya karena terlalu sering jalan kaki dan tidak ada yang bisa saya lakukan selain memperhatikan sekitar. Benarlah kata orang, yang berjalan lebih lambat akan lebih banyak belajar. Terlalu jauh untuk pulang, terlalu lama untuk sampai, dan tempat ini terlalu dingin untuk beristirahat. Saya tidak punya pilihan lain selain terus berjalan. Perjalanan ini akan bertemu akhirnya. Ini sbmptn terkahir saya. Pertarungan terakhir.

Beberapa orang bertanya ke saya, bagaimana kalau gagal lagi? Saya hanya akan menjawab tenang : ga gimana-gimana, hidup harus terus berjalan. 

Sesungguhnya itu hanyalah jawaban kamuflase dari ketakutan saya yang sangat besar. Saya bahkan tidak berani membayangkan kegagalan. Tidak tahu harus bagaimana lagi. Tidak akan sanggup juga jika harus mengulang apa yang telah dilakukan dua tahun terakhir. Lebih-lebih, tidak sanggup membayangkan perasaan ayah dan ibu. Keegoisan saya memperjuangkan ini menghasilkan kalimat-kalimat menyakitkan bagi mereka. 

"Kalau dak sanggup kuliah yo dak usah"

"Bapak kau dak katek duit nak bayari kau kuliah"

"Ujinyo kau nih pinter"

"Omongke bapak kau, dak usahlah nak nyekolahke anak amen dak katek duit"


Saya tau persis, seperti kata tere liye, lebih banyak luka hati bapak dibandingkan tubuhnya, juga lebih banyak tangis di hati mamak dibanding matanya. Luka dan sedihnya saya tidak ada apa-apa dibandingkan mereka.

Tapi,

Setelah segala hal menyakitkan, segala kejadian tidak enak, segala hal-hal buruk yang menimpa, sisanya memang hanya kebaikan yang akan datang. Saya lulus tahun itu. 2017. Berkelang dua tahun dari tahun ijazah. Butuh waktu yang cukup lama. Perjalanan panjang yang kalau diingat sekarang, rasanya tidak percaya pernah berada disana. Kehidupan normal yang saya impikan Allah berikan. Dan apa-apa yang telah terjadi selama tiga tahun perjalanan kuliah saya, rasa-rasanya adalah nikmat yang tidak terkira. Tiap detiknya berharga dan bernilai langkah kaki diaspal yang dulu saya jalani. 

"Pesimis adalah kesombongan yang mendahului takdir, Tuhanmu tidak akan membiarkan tangan hambanya kosong selepas berdoa" - Nabila Hayatina



Komentar

  1. Aisyah adalah orang yang mengajarkanku buat berprasangka baik sama Allah. Seneng bisa kenal sama kamu ais.. terharu dan pengen denger lagi ceritamu pas jadi ibu guru hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku berharap aku juga adalah orang yang berprasangka baik sama Allah. Tulisan ini sebenarnya juga pengingat aku pribadi, bahwa dulu pernah sekeras itu berjuang, kenapa sekarang malah lemah? :""

      Tentang guru, sebenarnya aku juga ga sedikagumi dan di sayang murid sebegitunya haha banyak jelek dan buruknya, tapi yang sering di pamer di sosial media emang yg baik baik aja :)

      Hapus
  2. Aku selalu percaya, orang2 yang pernah dididik dan mendidik dg hatinya akan melahirkan generasi bangsa yang hebat nantinya. Perkara kata "maaf" itu, ah aku jg pernah mendapatkannya. Tp setelahnya aku merasa menjadi orang beruntung sebab Ia pertemukan aku dengan orang2 kuat seperti kalian. Skenario-Nya memang terbaik ya..

    BalasHapus
  3. Uwawwwwww😌😌. Beberapa kalimat membunuh yang sangat menyakitkan!. Life must go on!. Terus bermanfaat dan berkarya. Semangat mba!.

    Kalau gagal sbm lagi kmrn, kata yang jd penenang dan ku pegang kala dulu "Kalau ga menang dalam hasil setidaknya saya sudah menang dalam usaha dan Do'a".

    BalasHapus
    Balasan
    1. I hope i know who you are, (dan bolehkah ku memanggil) dek :)

      Makasih banyak sudah mampir dan meninggalkan jejak. Bener banget kata adek. Kita sudah menang dalam doa :)

      Hapus
  4. Waaah setelah membaca tulisan ini, aku rasa kita harus berhenti mengeluh. Perjuanganmu berat sekali dibanding aku. Ayoo kita sama2 semangat...

    BalasHapus
  5. Makasih Ais, gak tau mau berkata-kata apa lagi :( speechless

    BalasHapus
  6. Akhirnya dilanjutkan ceritanya :)

    Thanks ya Mbak, banyak pelajaran yang bisa saya petik dari kisah Mbak :"

    Uuwuwww banget dah.

    BalasHapus
  7. "Benarlah kata orang, yang berjalan lebih lambat akan lebih banyak belajar."

    Gak tau, suka sama kalimat ini. Berasa kena gitu. Saya kerjaannya lambat, apa-apa perlu diperhatikan dengan detail. Menulis lambat, makan lambat, cuci piring lambat, jalan kaki pun lambat. Tak secepat orang-orang, bahkan pernah mikir "Itu kok cepet banget, ih buru-buru banget, santai coba" Ahahaha memang hidup saya penuh kehati-hatian sebab ada rasa was-was takut salah :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Pesan Tidak Sampai