Just Babbling : Ngomongin Nikah

"Menikahlah dengan seseorang yang juga mau menikahi mimpi-mimpimu. Yang matanya berbinar ketika citamu berbinar. Yang senyumnya ikut terkembang ketika asamu terkembang" - Aji Nur Afifah

Ngomongin nikah, di usia yang sebenarnya udah boleh nikah tuh seru seru greget gimana gitu ya. Kalau saya sih, beberapa kali ikut kepikiran tentang "kapan?", terlebih teman-teman seusia bahkan adik tingkat udah banyak banget yang nikah. Sebagian besar malah udah jadi ibu. Saya mikir, kayaknya seru juga nih kalau ada temen yang bisa dipaksa tinggal seumur hidup. Kemana-mana berdua, ada yang nganterin ke kampus, ada yang bisa diajak deep talk dan ngobrolin hal receh kapan aja, ada yang bisa jadi 911, ada yang bantuin ngerjain paper, masak bisa gantian, dsb.

Tapi ketika dipikirkan dengan lebih serius dan mendalam, malah jadinya takut dan berpikir nanti aja. Kepingin mengkhawatirkan doi tapi ujungnya malah lebih khawatir sama diri sendiri.

Ya gimana. Masa mau menikah cuma karena alasan receh gitu aja? Itu mah namanya kesepian. Solusinya banyakin temen, bukan ujug ujug ke pernikahan.

Apa yang saya takutkan? Tanggung jawab. Kita sepakat lah ya kalau menikah itu adalah komitmen yang maha. Berpindahnya tanggung jawab orang tua ke errr (bentar saya bergidik dulu) suami. Bahkan sekalian dosa-dosanya juga jadi ikut berpindah. Konsekuensinya sebagai perempuan, wajib taat ke suami (sumpah gw geli banget nyebut kata ini) sebagaimana wajib taat ke bapak. Ini bikin saya yang pada dasarnya ga suka diatur dan hidup suka suka merasa kayak "wait... what?", pengen maki dan bilang "siapa elu coy?", tapi gimana... namanya wajib, ya harus dilaksanakan. Lagipula itu konsekuensi logis dari berpindahnya tanggung jawab tadi. Saya jadi berpikir, orang seperti apa sih yang harus saya taati?. Terlebih saya adalah orang yang (katanya) sangat kasar dan sinis ama cowok (apalagi yang dari bentukannya udah keliatan bgst). Pertanyaan itu kemudian mengantarkan saya pada visi. Tentang keluarga seperti apa yang mau dibangun. Tentang akan berorientasi apa keluarga saya nanti. Saya pernah baca, katanya keluarga adalah tiang-tiang peradaban. Peradaban tersusun diatas ribuan unit kecil yang disebut keluarga. Kalau keluarganya kokoh, peradaban juga akan ikut kokoh. Artinya membangun keluarga sebenernya sedang membangun peradaban. Visi ini kemudian melahirkan tujuan. Tujuan diturunkan menjadi kriteria. Kalau mau punya keluarga yang bisa mengkokohkan peradaban, jelas harus punya teman hidup yang setara. Yang bersama-sama bergerak menuju arah yang sama.

Kalau keluarga adalah tiang peradaban. Maka, tiang keluarga adalah ibu. Jadi sebenarnya ibu punya peran yang sangat penting dalam mewujudkan peradaban yang gemilang.

Tanggung jawab menjadi ibu yang demikian besarnya membuat saya semakin takut dan khawatir. Saya saja sebagai anak, sebagai manusia, dan lebih lebih sebagai hamba saja masih amat banyak sekali kurangnya. Bagaimana mau menjadi ibu?. Tidak terbayangkan seorang anak yang lahir dari rahim seorang ibu yang tidak siap menjadi ibu. Tumbuh jadi seperti apa anak itu nantinya? Bukankah setiap anak manusia yang lahir itu suci, orang tuanya lah yang menjadikannya ia seorang manusia atau sekedar seonggok daging yang bernyawa.

Sejak bekerja beberapa tahun lalu, saya bertemu banyak tipe keluarga. Ada yang ibunya kasar dan suka marah-marah, maka si anak berubah menjadi pribadi yang tidak berperasaan. Ada orang tua yang terlalu sibuk bekerja sehingga si anak lebih sedih saat pengasuhnya pergi ketimbang ibunya pergi. Ada orang tua yang selalu mendengarkan anaknya sekecil apapun ucapannya lalu si anak tumbuh menjadi orang yang penyayang dan amat berempati. Ada juga orang tua yang selalu minta maaf ke anaknya ketika melakukan kesalahan, si anak pun menjadi orang yang pemaaf dan mau mengakui kesalahannya. Ada anak yang hafal satu set album penyanyi pop terkenal karena setiap hari itu yang didengarnya. Sementara ada juga yang mengkhatamkan juz pertama hafalannya di usia enam tahun karena setiap hari ia mendengar ibunya membaca Al-Quran. Anak-anak adalah peniru yang baik. Tergantung dengan apa yang selalu dilihat dan didengarnya.

Kebayang ga sih beratnya jadi ibu? Berpotensi menurunkan ribuan dosa jariyah kalau ternyata anak malah meniru hal-hal buruk dari kita. Gila tjoy. Ngeri. Bisa dapet golden ticket ke neraka :"(

Lalu, luka pengasuhan masa kecil saya yang banyak dikenal sebagai inner child juga banyak mempengaruhi saya.

Ibu saya sejak kecil tidak punya ibu. Lalu kakek menikah dan tak lama tinggal terpisah dari anak-anaknya. Ibu saya meninggalkan sekolah, bekerja untuk memastikan adik-adiknya tetep makan. Merasakan kerasanya kehidupan. Hubungan dengan ibu tirinya tidak baik. Dia tidak merasakan kasih sayang seorang ibu sejak kecil. Luka yang kemudian tanpa sengaja diturunkan ke saya. Saya tumbuh jadi pribadi dengan konsep diri yang sangat jelek dan self love yang minus. Selalu merasa tidak berguna karena saya sering mendengar kata itu diucapkan ke saya waktu kecil. Level ekstrimnya, saya pernah bahkan melukai lengan sendiri karena trauma masa kecil ini.  Luka yang terwariskan. Yang juga sangat mungkin saya wariskan lagi ke anak saya. (bahasan ini sempat saya ceritakan disini)

Saya tentu saja tidak mau anak saya merasakan apa yang saya rasa. Saya tidak mau dia merasa bantal guling dan selimut lebih menenangkan dibandingkan pelukan ibu seperti yang selama ini saya rasakan. Maka saya harus sembuh dulu. Saya harus bahagia dulu sebelum memberikan kebahagiaan untuk anak saya.

Hal-hal beginilah yang membuat saya malah jadinya mengkhawatirkan diri sendiri ketimbang mengkhawatirkan doi. Setelah dipikir juga, ngapain sih mengkhawatirkan seseorang yang bahkan belum ditemukan?

Peradaban besar tidak dibangun semalam. Ia dibangun ribuan hari dengan keringat, kerja keras, air mata bahkan darah para pejuang-Nya. Kita sedang membangun peradaban terbaik, muara ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya segala keberkahan dari langit dan bumi,  memberikan kesejahteraan bagi umat manusia serta bersegera menjemput janji-Nya sebagai umat terbaik.


P.s : ternyata tepat 2 tahun lalu saya sempet nulis tentang pernikahan juga. Tulisan itu bisa dibaca disini

Komentar

  1. Hal yang menjadi ketakutan juga untuk Rena pribadi, tentang tanggung jawab. Mengurus diri sendiri aja masih belum bisa, apalagi mengurus rumah tangga.
    Ketika sudah berubah status, maka mau tidak mau akan banyak perubahan juga pada diri sendiri. Sikap, sifat, penampilan dan sebagainya. Karena inilah, Rena masih absurd sekali dengan bahasan yang satu ini. Kata teman smpku beberapa waktu lalu. Sabar saja, setiap dari kita sudah ada jodohnya. Nggak usah terlalu ngebet namun jangan juga terlalu lengah. wkwk

    Btw, itu postingan dua tahun lalu kok timingnya bisa pas gitu ya. 1 Juli.

    BalasHapus
  2. Bijaksana membiarkan semesta bekerja, detik yang terus berputar, hingga waktu yang tepat tiba.. 😁

    BalasHapus
  3. Tampilan blognya baru nih ciyee

    BalasHapus
  4. Hal yang paling bikin aku salut sama pasangan yg udh siap nikah bukan krn keromantisannya tp karena keberanian mereka buat emban tanggung jawab yg segitu gedenya. Jd inget kata aisyah waktu itu, "menikah itu menggenapkan separuh agama, lah klo separuh agama (kita) aja blm genap gmn mau genapin yg lain wkwk"

    BalasHapus
  5. yah masa kecil dulu pun tidak ada yang sempurna begitu pun saya, saya juga heran atau bisa dibilang tidak paham dengan masalah kasih sayang yang satu ini.

    BalasHapus
  6. Ya Allah jangan sampelah dapet golden ticket ke neraka. Bahkan kalo ada silver ticket pun jangan :(

    Sepakat! Hal pertama yang harus dilakuin adalah menyembuhkan diri sendiri. Luka masa lalu. Kalo saya sendiri dilahirkan dari dua orang tua yang sama-sama anak pertama. Yang mana keduanya dituntut menjadi panutan bagi keluarganya.

    Kebayang gak sih rasanya ketika kedua orang tua lo sama2 anak pertama, dan lo lahir sebagai anak pertama. Rasanya tuh....ah tak bisa dideskripsikan. Intinya mari bersama kita menyembuhkan luka masa lalu🤗

    BalasHapus
  7. Ada yang pernah bilang (lupa siapa), sebelum menikah kita harus udah bisa menerima diri sendiri dulu.

    BalasHapus
  8. Emang sih, sebelum menikah kita harus berdamai sama masa lalu kita. Berdamai sama pola asuh dari orang tua yg mungkin ada salahnya. Hingga, kita bisa mendidik anak-anak kita jauh lebih baik lagi. Ndak ada dendam-dendaman ala MOS atau Ospek kampus yang bilang "Zaman kalian enak ya. Cuma push-up 500x. Liat zaman kami! Kami push-up lebih banyak dari kalian. 501x push-up!. Baru segitu aja dah ngeluh" itu fiksi btw, tapi ambil aja analoginya.

    BalasHapus
  9. Kalo aku memandangnya, bagian terkecil dari peradaban itu bukan keluarga. Tapi diri kita. Keluarga itu bagian terkecil setelah diri kita. Diri kita dan dirinya bersatu jadilah keluarga. Artinya yg harus diperbaiki dan mempersiapkan diri, benar, mulai dari kita. Berdamai dengan masa lalu, sebenarnya salah satu caranya. #dwiki

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Gibahin Orang sambil Cerita Keresahan