#Holidiary : Tentang Menikah dan Teman Lama

Judulnya seolah-olah akan membahas tentang "menikahi teman lama" hahaha padahal bukan. Judul diatas juga seolah mengindikasikan bahwa saya akan menikah (iya sih tapi belom tau kapan). Padahal sebenarnya, saya sedang mencoba menggabungkan 2 hal yang berbeda namun related banget dengan hal yang akhir-akhir ini saya alami.

Pertama tentang teman lama. Sebuah kewajaran dalam series #Holidiary ini jika saya ketemu teman-teman lama mengingat saya memang liburan di kampung halaman. Bukan hal yang mengagetkan juga sebetulnya karena saya sangat sering mudik. Namun, entah karena faktor usia atau memang faktor lainnya saya kemudian baru menyadari hal ini.

Sebagian besar teman-teman saya jaman sd dan smp sudah menikah. Bahkan adik-adik kelas yang bisa 4 sampai 5 tahun dibawah saya juga sudah menikah. Untuk ukuran orang kampung, menikah di usia belasan adalah hal yang biasa. Sesuatu yang membuat saya agak terhenyak adalah tentang betapa berbedanya seseorang setelah menikah dan punya anak. Terlebih poin kedua. Mereka yang sudah jadi ibu dan ayah  atau calon ibu dan ayah memang tampak berbeda.

Mereka tampak seperti ibu-ibu sekali. Tampak lebih tua dari usianya. Ekspresi wajah yang lembut namun tidak bisa menghilangkan gurat keras karena di hempas kehidupan. Jangan tanya tentang prioritas, baginya tidak ada yang lebih penting dibanding anaknya. Tidak ada lagi make up tebal yang sering saya lihat jaman smp. Tidak ada lagi baju-baju trendy dan gaul yang dulunya biasa membalut tubuh.

Lalu saya membandingkan dengan diri saya sendiri. Di usia yang sama atau bahkan lebih tua dari mereka, saya masih remaja biasa. Saya sering masih merasa sebagai anak kecil dan melakukan hal-hal konyol-membaca komik, nonton kartun, manjat pohon mangga dan merujak, tidur sepanjang hari-. Memang, dunia mereka dan dunia saya sudah sangat berbeda. Namun, urusan tanggung jawab dan kedewasaan mereka jauh lebih dewasa. Urusan keberanian mereka jauh lebih berani. Maka, kerasnya kehidupan dan jatuh bangun yang saya alami tidak ada apa-apanya dibanding milik mereka.

Kemudian tentang menikah. Lebaran tahun ini saya bertemu sepupu saya (yang lagi-lagi hanya satu tahun diatas saya) yang baru beberapa bulan menikah dan sedang hamil muda. Saya sudah lama tidak bertemu dengannya dan juga tidak datang di pernikahannya karena suatu alasan. Bagaimana rasanya sih bertemu saudara ketika masih sendiri lalu sekarang bertemu lagi setelah dia akan jadi seorang ibu? :")

Kami punya waktu berdua sore itu. Kemudian saya menanyakan sesuatu yang sudah lama mengendap dan membenak.

"Kenapa memberanikan menikah di usia semuda itu?"

Pertanyaan yang juga sebetulnya ingin saya tanyakan ke teman-teman saya.

Ia menjawab simple.

"Kenapa engga?"

Lalu saya mengerti.

Bagi orang-orang yang terbiasa hidup di kota, bagi mereka yang terbiasa dengan peradaban yang modern, bagi mereka yang terbiasa hidup dengan siklus "sd-smp-sma-kuliah-kerja-menikah", maka menikah di usia tujuhbelas tahun (atau bahkan kurang dari itu) adalah sebuah hal yang masih sulit di cerna. Tapi bagi orang-orang seperti kami, ini adalah hal yang biasa.

Teman-teman saya tidak seberuntung saya. Banyak yang putus sekolah bahkan ketika smp. Kadang bukan karena mereka tidak mau, tapi karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan. Klise? Tapi begitulah faktanya. Kemudian apa yang mereka lakukan jika di usia sekolah mereka tidak sekolah? Sebagian tinggal dirumah, sebagian bekerja. Selang 2 tahun kemudian mereka menikah. Kalau alasan kita menunda menikah karena "nunggu" lulus, maka mereka tidak punya sesuatu untuk ditunggu. Nunggu mapan? Ketika keluargamu saja sulit untuk makan, maka apa definisi mapan bagimu? :")

Maka keluarga yang merupakan unit terkecil masyarakat pun dibangun hanya dengan alasan "yaudah mau ngapain lagi kalau ga menikah?". Tidak ada visi jangka panjang disana. Tidak ada tujuan. Tidak ada ilmu. Kemudian mereka menjadi orang tua. Orang tua yang tidak paham bagaimana caranya menjadi orang tua. Sayang sih, tapi rasa sayangnya itu menghalanginya untuk mendidik anaknya untuk sholat. Rasa sayang itu tersalurkan dengan cara yang tidak tepat.

Kemudian anak tidak tau harus jadi apa dan menuju kemana karena ia tidak punya tujuan. Ia tidak punya standar yang baik tentang benar dan salah lalu hidup sekedarnya. Karena ayah dan ibunya dulu juga hidup seperti itu. Karena kakek neneknya juga hidup seperti itu. Karena buyutnya juga hidup seperti itu.
Sebuah lingkaran setan yang mengerikan.

Katanya Keluarga adalah pondasi negara, karena disanalah tiap individu pertama kali dididik dan dibentuk. Lalu, jika keluarga dibangun dengan alasan "yaudah yang penting nikah" maka wajar kita menjadi negara  yang "yaudah yang penting jadi negara".

P.S : Saya emang suka ngomongin nikah, tapi lebih ke bahasan parenting dan family-development-nya. Bagaimana bahkan keputusan seseorang untuk menikah pun bisa mempengaruhi karakter anaknya nanti. Bukan tentang baperan kenapa si dia ga dateng-dateng.

P.P.S : Kayaknya bahasan tentang menikah harus dibikin tulisannya sendiri deh. Btw, saya tidak menyalahkan yang menikah muda (bahkan termasuk mendukung) karena memang bukan salah mereka. Saya hanya berusaha menemukan solusi untuk meningkatkan kualitas keluarga berdasarkan pengamatan pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir