Perasaan Hari Itu

Ayah rusuh mencari handphonenya. Selepas maghrib ia baru pulang, saat adikku menanyakan handphonenya baru ia sadar bahwa benda itu tidak ada.
Ia memeriksa saku celana, memeriksa saku baju, mengacak-acak isi tas, mengeluarkan semua benda bawaannya. Sia-sia. Benda pipih berbentuk kotak itu tidak ditemukan.

Ayah teringat, tadi terakhir ia mengeluarkan handphone itu di perahu ketek yang mengantarkannya menyebrang sebelum sampai kerumah sore ini. Mungkin masih tertinggal di sana. Tidak sulit menelusuri jejak perahu ketek itu. Pemiliknya terhitung masih kerabat dekat ayah. Kami sering mampir kerumah mereka. Sering menitipkan sepeda motor. Berbasa basi remeh temeh. Terlebih yang tadi mengantarkan ayah adalah anak sulung keluarga mereka yang juga pernah menjadi murid ayah.

Ayah lalu mengontak mereka. Memberitahu bahwa ada handphone tertinggal. Meminta tolong diantarkan lagi handphone itu karena data didalamnya amat penting. Ayah juga menjanjikan memberikan ongkos lagi.
Sembari menunggu kabar, kami juga berusaha mencari kemungkinan lain. Terjatuh atau apalah. Aku juga berusaha menghubungi handphone yang tertinggal itu. Nomornya tidak aktif.

"Masa tidak aktif?" Ayah berseru kepadaku

"Iya" Aku menjawab sambil terus berusaha menelpon nomer itu. Percuma. Nomornya benar-benar tidak aktif.

"Tadi baterainya masih banyak kok" Ayah berseru sebal, panik karena banyak hal yang harus ia kerjakan terhambat gara-gara handphone itu.

Selang beberapa menit. Pemilik perahu ketek itu menelpon. Handphonenya tidak ada. Ayah masih memastikannya, ia yakin sekali handphonenya tertinggal disana. Minta tolong untuk memeriksa sekali lagi. Bukan masalah handphonenya tapi data didalamnya katanya sebelum menutup telepon.

Ayah menatapku lalu menatap ibu.
"Atau Bima yang mengambilnya? Dia menemukan handphone itu lalu mematikannya?" Ayah menyebut nama Bima, nama anak yang tadi yang mengantarkannya.

Aku menolak dalam hati. Oh ayolah, itu tidak mungkin kan. Keluarga kami selain terhitung kerabat dekat juga cukup dekat. Ayah bahkan tiap kali mampir kesana selalu memberikan anak bungsu mereka makanan atau mainan. Apa yang ia bawa kerumah biasanya juga ia berikan ke mereka.

Ibu nampak berpikiran sama denganku. Meskipun aku tau, separuh hatinya menyadari kebenaran ucapan itu, sama sepertiku.

Telepon kembali berbunyi. Mengabarkan bahwa handphone itu benar-benar tidak ada. Ayah mengeluh. Tidak mungkin tidak ada, ia ingat sekali terakhir kali handphone itu ada disana. Ia masih berusaha bicara, bilang dengan yakin bahwa tadi ia mengeluarkan handphonenya di perahu ketek itu. Bilang berkali-kali bahwa datanya amat penting, bahwa catatan pekerjaannya ada disana semua. Belum lagi kontak dan data nomer telepon didalamnya. Handphone itu penting sekali.

Telepon ditutup.

Aku menghela nafas. Dugaan awal tadi semakin kuat. Tidak mungkin handphone yang baterainya penuh tiba-tiba mati. Soal ingatan, ayah selalu bisa diandalkan. Ia bisa mengingat dengan sangat baik. Semua orang yang mengenalnya tau hal itu. Kalau ayah bilang ada disana, maka benar-benar ada disana. Tidak pernah meleset.

"Tapi rasanya tidak mungkin Bima tidak jujur" Ibu membuka percakapan lagi

Entahlah. Tidak ada yang menjawab.  Semua diam dalam kemelut pikiran masing-masing. Ayah yakin sekali kalau handphonenya tertinggal disana. Tapi mereka bilang tidak ada. Jatuh ke air ? Itu cukup masuk akal.

Ayah mengeluh sebal lagi. Bilang bahwa ia bahkan sempat mengontak rekan kerjanya di perahu ketek itu. Mengucapkan berkali-kali bahwa mungkin memang Bima yang mengambilnya. Ayah dan Ibunya memang sangat jujur, tapi Bima? Belum tentu.

"Yaudahlah, kalau memang dia yang mengambil mau bagaimana lagi? Kita tau bahwa dia tidak jujur, sudah itu saja" Ayah berkata lagi

Aku meringis, masih merasa itu tidak mungkin.

Untuk kesekian kalinya, telepon kembali berdering.

Aku yang menjawab, "Halo?"

"Pak... Pak Syakir mmm.. manna?" Itu suara Bima, bergetar mungkin oleh menahan tangis.

Aku menyerahkan ke Ayah.

Mereka bicara cepat. Dari percakapannya dapat disimpulkan bahwa handphone itu memang ada dan mereka berjanji akan segera mengantarnya.

"Sudah, besok saja. Aku lega kalau sudah ketemu" Kata Ayah mengakhiri percakapan.

"Memang dia" Ayah bicara padaku "Dia tidak mengaku, tapi terlihat dari suaranya yang bergetar menahan tangis. Mungkin ia didesak ayahnya. Disuruh mengaku"

"Aduh, kok Aku jadi merasa tidak enak sama mereka" Ibu menimpali

"Iya, sebenarnya kasian. Bima kepengen smartphone seperti milik teman-temannya. Anak seumuran dia, pasti sangat terpengaruh sekitar. Ayahnya tidak punya uang" Aku ikut berkomentar

"Kok jadi rasanya tidak enak sekali sama mereka ya, padahal keluarga kita sudah sedekat ini. Apa berikan saja handphone itu untuknya?" Kata Ayah

"Dia akan merasa bertambah bersalah kalau ayah berikan. Ayah ambil saja handphone itu, terus berikan dia uang jajan lebih banyak. Bilang terima kasih. Dengan begitu, dia akan menyesal sendiri" Ibu memberi saran

Diskusi ditutup. Semua kembali ke aktivitas masing-masing.

Aku masih terduduk ditempatku. Perasaan anak itu, aku paham sekali bagaimana rasanya.

Ketika kau menginginkan sesuatu, tapi sesuatu itu amat jauh dari jangkauanmu. Perasaan sakit merasa direndahkan hanya karena kau tidak sama dengan teman-temanmu. Perasaan minder, rendah diri. Anak usia sekitaran 15 atau 16 seperti dia, masa pubertas.. dimana seolah dunia menyorot kepadanya dan dia merasa sangat lusuh diantara permata berkilauan.

Perasaan-perasaan yang hanya bisa dirasakan orang-orang seperti kami, yang gagal bahkan sebelum sempat memulai. Yang dipaksa menyerah oleh keadaan.

Sakit. Pedih. Perih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

4 Januari

Jelajah #1 : Tarakan, Kalimatan Utara. (Pengalaman Debat Nasional Pertama)

Orang-orang yang Pernah Hadir